Semua siswa dari sekolah pengungsian dikumpulkan terlebih dahulu di lapangan tengah. Kepala sekolah dan guru-guru yang sudah lama tak terlihat saling maju menyampaikan pesan-pesan.
“Tolong jaga sikap kalian, karena di sini bukan tempat kita.”
Leila menahan diri untuk tak mendengus saat mendengar gurunya mengucapkan hal itu. Andai para guru tahu kalau pembuat onar bukanlah mereka, tapi siswa asli sekolah ini.
“Jangan membuang sampah sembarangan. Jangan mencoret dinding, bangku, kursi dan semua peralatan sekolah. Jangan berisik....”
Pak Joko terus mengungkapkan sejuta jangan dan larangan. Leila yakin kalau sebagian besar anak sudah tak peduli dengan pesan itu. Mereka sudah terlanjur sakit hati dengan salam perkenalan dari siswa SMP satu saat baru menginjakkan kaki di sini.
Selama upacara, Leila sadar kalau ada yang aneh. Ia merasa kalau jumlah mereka terkesan sedikit. Ia juga tak melihat beberapa wajah dari teman-teman sekelasnya.
“Sekarang kalian bisa memulai pembelajaran. Sebelum masuk kelas, lihat papan pengumuman untuk pembagian kelas dan letaknya. Ingat! Jaga sikap!”
Leila yakin bahwa keanehan yang dirasakan sangat nyata saat mendengar ucapan Pak Joko.
“Kenapa harus ada pembagian kelas?”
Perasaan anehnya terbukti saat melihat papan pengumuman di dekat ruang guru. Ia bahkan tak menyangka kalau kelasnya telah pindah menjadi 7-A.
“Kok kita jadi kelas A?” Mira terus bertanya-tanya selama berjalan ke kelas.
“Iya, aneh. Mana kita jadi sekelas,” sahut Bagas.
Leila hanya mengangguki. Ia masih tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kepalanya sibuk menerka-nerka apa yang sedang terjadi. Perubahan kelas dengan jumlah anak yang lebih sedikit pasti saling berkaitan.
“Karena banyak siswa yang pindah, kelas telah dirombak ulang.” Pak Joko memberi informasi sebelum memulai pelajaran, persis seperti yang Leila pikirkan.
Leila dan Mira saling berpandangan. Sakit hati mereka belum sembuh karena pembulian beberapa waktu yang lalu, sehingga menghadapi kenyataan harus berpisah dengan beberapa teman tanpa berpamitan semakin memperburuk keadaan.
“Oke. Pelajaran dimulai. Buka buku matematika halaman.....”
Leila mengikuti instruksi guru dengan setengah semangat. Kebahagiaan yang dirasakan pagi tadi sudah sepenuhnya hilang.
***
Leila memang sudah terbiasa dengan kehidupan baru di Pasar Baru Porong, tetapi ia tetap tak terbiasa dengan perundungan yang terjadi di sekolah.
Berangkat ke sekolah bahkan menjadi hal yang menyebalkan. Banyak anak yang sengaja berangkat telat demi tak berpapasan dengan siswa asli yang pulang sekolah. Mereka sungguh bosan menjadi bahan olok-olokan.
“Anak pengungsi!”
“Mana sekolahmu?”
“Hahaha! Sekolahnya hilang, ya?!”
Leila dan seluruh temannya sudah pusing tujuh keliling jika berjalan dengan ditemani pekikan itu. Bertemu mereka benar-benar menjadi hal terakhir yang diharapkan. Seperti saat ini, Leila dan Mira bersembunyi di kebun dekat sekolah demi menunggu kepulangan mereka. Namun, mereka tetap saja mengetahui persembunyiannya dan memulai aksi.
“Heh! Ada anak pengungsi di situ!”
Leila dan Mira ingin kabur, tapi mereka sudah terlanjur ketahuan layaknya maling yang baru saja membawa kabur kambing.
“Pergi! Kita nggak cari gara-gara! Kita cuma mau sekolah!” Mira berteriak. Leila mengangguk-angguk di sebelahnya.
“Hahaha! Tapi kan ini sekolah kita! Kalian tuh cuma numpang! Cuma ngungsi! Yang tahu diri dong! Mana kalian suka coret-coret bangku kita sampe kotor!”