Bagas sungguhan marah. Dia bahkan tak mau berbicara dengan Mira dan Leila saat tahu dirinya ditinggal mengunjungi rumah. Bagas hanya memberikan lirikan tajam apabila berpapasan dengan mereka, lalu mengeos dan membuang muka secara terang-terangan.
“Liaten! Liataen matae!” Mira berseru kesal dengan menunjuk ke wajah Bagas secara terang-teragan. Kalau tidak ditahan Leila, Mira sudah pasti memukul Bagas yang terus mengabaikan mereka padahal mereka sudah minta maaf.
“Wis ta. Wajar Bagas gondok,” sahut Leila.
“Nggak wajar! Wis lima hari!” seru Mira. “Lapo Bagas nggak gentle blas? Mbok yo koyok Adit!35” lanjutnya sambil menghentak-hentakkan kakinya saat masuk kelas.
Leila menggaruk dahinya, bingung sendiri. Ia memang sering melihat Bagas dan Mira bertengkar, tapi baru kali mereka sungguhan saling marah.
Leila terus memikirkan bagaimana cara meredakan amarah Bagas. Sebuah jalan keluar akhirnya datang saat bapaknya berkata kalau mereka akan kembali ke rumah.
“Besok pergi pagi-pagi aja biar bisa main lama, nggak kemaleman kayak minggu kemarin,” ucap bapaknya selepas pulang kerja.
“Aku ajak Mira sama Bagas ya?” tanya Leila, meminta izin.
“Yo. Nanti Bapak juga bilang ke Pak Bandi. Kemarin katanya mau ikut cek keadaan rumah.”
Pak Bandi adalah bapak Bagas. Artinya, Bagas sudah dipastikan ikut dan akhirnya perang di antara mereka telah berakhir.
Pada minggu pagi, mereka bertiga sudah siap dengan celana pendek, sepatu boots, dan semangat empat lima. Bagas bahkan membawa ransel besar yang berisi cemilan, makan siang, dan dua baju ganti.
“Ibumu selalu lebay, padahal kita cuma pulang sebentar,” komentar Mira.
Leila buru-buru membungkam mulut Mira dengan tangannya agar tak kembali berkomentar banyak. Akan sangat menyebalkan jika Bagas tersinggung dan akhirnya mereka kembali bertengkar.
“Wis! Wis! Nggak usah didenger! Ayo berangkat!” Leila menarik Mira dan Bagas untuk mendekat ke arah bapak mereka yang sudah siap di motor masing-masing.
Kali ini bapak Mira, juga ikut hingga Mira tak berboncengan dengannya lagi.
Sesampainya di tanggul, Bagas melongo lebar melihat pemandangan di bawah. Leila dan Mira mengangguk-angguk. Sudah mengira dengan reaksi itu, karena mereka pun dulu juga tak percaya saat melihat kampung halaman yang sudah berubah total.
Mereka segera menuju rumah masing-masing untuk mengecek keadaan. Meskipun tak ada yang jauh berbeda selain tinggi lumpur yang makin naik.
“Ayo naik itu!” seru Mira saat melihat kasur yang terparkir di tengah jalan.
“Ngawur! Punya siapa?” sahut Bagas.
“Mboh! Tapi nggak mungkin digoleki wonge!36”
Leila dan Bagas belum menjawab apa-apa, tapi Mira sudah menarik mereka untuk mendekati kasur yang melayang di atas lumpur.
“Hahaha! Kayak naik perahu!” girang Mira.
“Hahaha! Awas lugur!37” peringat Leila, tetap ikut tertawa.
“Pak! Tolong fotoin!” Bagas melambaikan tangan pada bapaknya. Pak Bandi memang mengalungkan kamera sejak tadi.
“Ayo… satu… dua… cekrek!”
Momen itu berhasil diabadikan tepat sebelum keseimbangan mereka goyah. Mereka terjatuh dari kasur dan masuk ke lumpur secara bersamaan.
“Ya Allah!”
“Aduh!”
Mereka mengeluh untuk beberapa saat, kemudian meledakkan tawa sambil saling menunjuk ke wajah masing-masing.
“Kayak orang-orangan sawah!”
“Hahaha!”
“Untung Ibuk bawain baju ganti!”
Semenjak itu, mereka lebih sering menghabiskan akhir pekan dengan kembali ke rumah. Pernah suatu waktu mereka bertemu dengan artis yang sedang syuting variety show.