22 November 2006.
Tepat di tanggal itu, pukul delapan malam lebih, saat Leila sedang makan malam sambil menonton sinetron di televisi, sebuah kobaran api membuatnya terperangah.
Awalnya, ia tak peduli saat Arum berteriak histeris, “Kebakaran! Mbak, ada api!”
Leila pikir, Arum sedang bercanda seperti kebiasaannya. Namun, suara teriakan lain di luar rumah membuat Leila mau tak mau menolehkan kepalanya ke belakang.
“Hah?”
Leila tak pernah merasakan jantungnya berdebar sekencang itu. Hanya ada warna merah di luar rumahnya hingga ia berlarian keluar sambil menarik Arum. Makanan yang masih sisa setengah diabaikan. Kobaran api itu seolah sedang menerkamnya hidup-hidup.
“Ibuk! Ibuk! Ada kebakaran!” Leila berteriak putus asa saat menyadari ibunya masih di dalam rumah.
Ia menoleh ke kanan dan kiri, tak ada sumber api yang ditemukan tapi warna merah menyala itu sungguh menenggelamkan kompleks perumahannya. Orang-orang yang selalu berdiam diri di dalam rumah pun ikut berhamburan ke jalanan layaknya semut.
Semua berteriak, “Kebakaran! Kebakaran!”
Kemudian, saling menatap bingung karena tak melihat api di antara rumah-rumah perumahan.
“Kenapa ini?”
Sayup-sayup Leila mendengar seruan tanya dari beberapa orang. Ia pun juga membingungkan hal yang sama, tapi kompleks perumahannya masih tetap merah seperti ditelan api. Rumah di depannya bahkan masih dipenuhi dengan bayangan api hingga atap.
“Leila! Arum!”
Nunuk yang baru dari kamar mandi memanggil-manggil putrinya sambil membenarkan rok. Ia sedang buang air besar saat mendengar samar-samar teriakan orang-orang dan betapa gemetarnya saat ia melihat bayangan kobaran api di dinding saat membuka pintu kamar mandi.
“Kebakaran di mana?” tanyanya.
Leila menggeleng. “Nggak tahu, Buk.”
“Hah?”
Malam itu terasa sangat mencekam, bahkan lebih menyeramkan daripada saat lumpur sampai ke dusun. Mereka yang berada dalam kompleks perumahan seakan sedang terperangkap dalam bayangan api yang tak kunjung reda.
Arum sudah menangis sambil memeluk Leila. Tubuhnya gemetar hebat. Leila juga membalas pelukan itu tak kalah erat. Ibunya pun mendekap mereka berdua dengan deru napas putus-putus. Ketakutan tergambar dengan jelas di wajah mereka.
“Cepet pergi dari sini!”
Mira dan orang tuanya berseru sambil berlalu. Motornya digas dengan secepat mungkin meninggalkan kompleks. Dan beberapa tetangganya yang lain sudah pergi dengan kendaraan masing-masing.
“Kita gimana, Buk?” Leila bertanya takut-takut.
Pasalnya, bapaknya sedang pergi untuk kembali mengurus permasalahan bencana lumpur.
“Bapak kapan pulang?” Arum ikut bertanya di sela tangisannya.
“Ibuk nggak tahu…..” Dan Nunuk menjawab dengan putus asa.
Sebelumnya, Umar berpamitan akan pergi ke surabaya untuk pertemuan dengan pihak Minarak untuk membahas masalah kejelasan ganti rugi untuk para warga. Dia selalu sibuk dengan tanggung jawab itu selama beberapa bulan terakhir.
Nunuk tak pernah bermasalah dengan kesibukannya, tetapi di saat genting seperti ini membuatnya nelangsa. Kompleks perumahan yang semula ramai dengan lalu-lalang orang yang meninggalkan rumah sudah mulai sepi. Belum lagi aliran listrik yang mati hingga area perumahan itu benar-benar gelap. Hanya ada cahaya merahnya api yang memenuhi langit.
Mereka bertiga memilih berjalan kaki tanpa tujuan. Rasanya lebih baik bergerak daripada diam di tempat menunggu api yang masih besar itu sampai di depan mata.
“Buk, mau pergi kemana jalan kaki?”
Seorang tetangga yang cukup jauh dari rumah menyapa. Dia seorang perempuan seumuran Nunuk dengan jilbab putihnya yang acak-acakan. Pastinya karena kaget dan kelabakan akan api misterius ini.