Langit pagi setelah ledakan terasa hangat. Daun-daun masih menari dalam irama angin. Burung-burung tetap berkicauan di sepanjang jalan. Dunia tetap terlihat baik-baik saja seolah kejadian semalam tak pernah ada.
Leila menatap jalanan dengan hampa. Kompleks perumahannya terasa lebih lengang dan sepi.
Memang sudah biasanya begini.
Hatinya tetap mengelak keanehan yang terjadi meski ia sadar betul keheningan ini lebih sunyi daripada biasanya. Sebagian besar orang telah pergi dari rumah karena amukan api semalam.
Namun, sepi itu tak berlangsung lama saat ia melihat beberapa orang berjalan melewati rumahnya menuju utara. Mereka berjalan bergerombol dengan wajah ngeri saat sedang bercengkrama.
“Iya, suami ibu itu tentara yang kemarin ada jadwal jaga tanggul.”
Sayup-sayup Leila mendengar sebersit percakapan mereka sebelum berjalan semakin jauh. Kabar duka itu membuatnya semakin terdiam. Ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan keluarganya saat kehilangan orang yang dicintai.
“Lei, ayo ikut.”
Bapak keluar dari rumah bersama Arum yang mengekor di belakang. Belek di mata kanannya menandakan kalau dia baru saja bangun tidur, tapi senyuman lebar yang ia ulas membuatnya terlihat sudah terjaga sejak beberapa jam yang lalu.
“Ayo, Mbak! Ayo!” Arum menarik-narik tangan Leila agar Leila bangkit dari duduknya di lantai teras.
“Kemana, Pak?” tanya Leila, menyerah dengan tarikan Arum dan berdiri sambil membersihkan celana bagian belakangnya.
“Lihat keadaan tanggul kemarin.”
Tepukan Leila di pantat dan pahanya terhenti saat mendengar jawaban bapak. Ia bahkan melotot ngeri.
“Memangnya sudah nggak apa-apa?” tanyanya, ragu-ragu.
“Nggak apa-apa.”
Bapaknya menjawab dengan penuh keyakinan sehingga tak ada pilihan baginya untuk menolak ajakan. Leila menaiki motor dengan perasaan yang penuh dengan kewas-wasan, sedangkan Arum sudah menggoyang-goyangkan tubuhnya penuh antusias.
“Ye! Ye! Jalan-jalan!”
Arum duduk di tengah--tepat di antara Bapak dan Leila. Senandungnya tak pernah berhenti saat motor itu mulai meninggalkan halaman rumah sampai menuju ke gerbang perumahan.
Leila tak mengerti apa senangnya naik motor saat ini. Mereka hanya akan mengecek tanggul yang terletak tepat di sebelah kompleks perumahan, tidak dalam perjalanan jauh. Namun, Arum terus bersorak senang bahkan merentangkan kedua tangannya dengan gerakan naik-turun seakan sedang terbang.
“Tanganmu jangan direntangin kalau naik motor nanti ditabrak kendaraan lain, putus tanganmu,” peringat Leila.
Arum langsung menyimpan kedua tangannya di depan dada. Ia meringkuk dan mendekap tangannya dengan wajah ketakutan mendengar ucapan sang kakak.
Ujung bibir Leila berdenyut geli melihatnya. Sangat mudah sekali menakut-nakuti anak-anak.
“Di sana kemarin ledakannya.”
Perasaan Leila yang semula membaik dan lebih ringan karena kelucuan Arum kembali berat dan berkecamuk saat melihat pemandangan beberapa meter di depannya. Motor bapak sudah berhenti karena warga sipil tak diizinkan masuk lebih dekat.
Suasana pagi yang hangat nyatanya tak sampai ke lokasi kejadian. Meskipun langit tetap cerah, rasa mencekam tetap memenuhi area. Mungkin karena waja sedih beberapa petugas yang sedang berjaga membuatnya ikut merasa hampa. Mungkin juga karena sepinya jalanan yang ditutup dekat tanggul membuatnya tampak lebih senyap.
Yang jelas, keadaan ini mengingatkannya tentang perasaan kehilangan yang teramat dalam seperti saat ia melihat dusunnya yang terendam lumpur.
“Kita pulang aja, Pak,” ucap Leila saat sudah merasa sangat tak nyaman.
“Iya. Ayo. Bapak juga mau berangkat kerja lagi.”
Ada kelegaan saat bapaknya setuju untuk kembali ke rumah, tetapi fakta bahwa bapaknya akan kembali pergi membuat perasaannya memberat. Ia ingat betapa kacaunya ia dan ibunya semalam karena bapak tak ada di rumah.
“Harus kerja hari ini? Kalau ada apa-apa lagi gimana?” Leila menyuarakan kegundahannya dengan suara pelan.
“Iya, harus. Ada rapat penting yang kemarin tertunda, ditambah ada kejadian baru karena ledakan.”
Keputusan bapaknya terlihat tak bisa diganggu gugat. Mereka kembali ke rumah dengan laju yang lebih kencang daripada sebelumnya. Leila masih merasa tak rela, apalagi saat melihat bapaknya sudah berganti pakaian mengenakan celana kain hitam, kemeja, dan jaket kulit hitam kesukaannya.
“Pipa di tanggul nggak akan meledak lagi, kan?” Leila kembali bertanya sewaktu bapaknya sedang menyisir rambut.
“Semoga tidak,” jawabnya sambil melirik sedikit wajah putrinya yang layu. “Tidak, Lei. Tenang saja. Pemerintah pasti sudah bertindak cepat,” lanjutnya dengan menepuk bahu kanan Leila dua kali sebelum berlalu keluar dari rumah.
“Ya, semoga,” harap Leila dalam hati.
Leila melambaikan tangannya saat mengantar kepergian bapak. Ibu yang berdiri di sampingnya ikut menepuk-nepuk punggungnya, menyalurkan rasa semangat dan berkata semuanya akan baik-baik saja.
“Bapakmu kan sedang memperjuangkan hak warga. Nggak apa-apa. Pipanya pasti juga sudah diperbaiki dan nggak akan meledak lagi,” ucap ibunya.
Leila hanya mengangguki dengan senyuman tipis. Terkadang, ia berandai bagaimana jika bapaknya tak menjadi Ketua RT di dusun. Bapak pasti tak akan sesibuk ini dan lebih sering di rumah. Ia juga tak mengerti kenapa semua Ketua RT menjadi orang yang bertanggung jawab dan mengejar hak untuk para warga.
Kegundahan Leila bertambah saat ia sadar harus berangkat ke sekolah sendirian hari ini. Mira dan Bagas sudah pergi sejak semalam. Entah mereka pergi ke mana, mungkin ke rumah sanak saudara jauh.
Tak banyak yang Leila lakukan di rumah selain merebahkan diri di kasur sambil melihat jarum jam yang terus berjalan. Benar kata orang, bahwa waktu akan terasa lebih lama jika ditunggu. Sejak tadi, ia menanti pukul sebelas siang agar bisa berangkat ke sekolah. Ia sangat bosan di rumah tanpa kehadiran Mira.
“Apa berangkat sekarang aja?” gumamnya.
Jam baru menunjuk pukul sepuluh pagi. Jika berangkat sekarang, ia akan sampai sekolah sekitar pukul sebelas kurang. Masih ada waktu luang satu jam hingga menunggu bel masuk.
“Tapi kalau berangkat lebih awal nanti ketemu anak sekolah asli.”
Dilema ini membuat Leila makin pusing. Tidak ada jawaban yang lebih unggul di antara dua pilihan. Ditelan kebosanan atau menghadapi perundungan sama-sama hal yang menyebalkan.
“Ah, udahlah! Aku berangkat aja!”