Leila tak pernah mengira kalau dirinya akan iri dengan kehidupan kura-kura, atau penyu… atau keong, bahkan bekicot. Mereka selalu memiliki rumah yang sama meski harus membawanya kemana-mana. Tak seperti dirinya yang kini harus menempati rumah lain karena area perumahan sudah masuk zona bahaya.
“Salim ke Bu Tun. Dia yang punya rumah.”
Bapak mendorong tubuh Leila dan Arum agar mencium tangan seorang perempuan baya yang menyambut kedatangan mereka di teras. Rumah ini memang tipikal bangunan tua yang sangat besar.
“Cantik-cantiknya,” puji Bu Tun.
“Terima kasih, Bu,” ucap Leila.
Bu Tun tertawa dan menggeleng cepat. “Panggil Mbah aja. Anggap nenekmu sendiri.”
Leila melirik ke orang tuanya, lalu mengangguk dengan cengiran paksa bercampur sungkan. Ia tahu kalau Bu Tun berbasa-basi, tapi menganggap orang yang baru kenal sebagai keluarga cukup membuatnya terkejut.
“Memangnya dia ikut tinggal di sini?” batin Leila. Kan tidak mungkin orang tuanya mengontrak rumah yang masih ada penghuninya.
“Bu Tun tinggal di rumah yang ini, sedangkan kita di sebelahnya.”
Leila sontak menoleh ke rumah yang ditunjuk oleh ibunya. Ia baru sadar jika teras yang luas ini memang digunakan oleh dua rumah. Satu, rumah bercat oranye yang sudah kusam di depan mereka dan yang kedua adalah rumah bercat putih tulang di sebelah kanan.
Tidak ada pembatas pagar ataupun lompongan yang memberi jarak. Dindingnya benar-benar bersatu seperti rumah kembar siam. Pantas saja harus dianggap keluarga, pikirnya.
Dua rumah itu memang berbeda atap, tetapi serasa serumah. Apalagi saat masuk dan menyadari kalau area dapur menjadi satu sehingga wilayah belakang sangat-sangat luas.
“Kamu bisa bebas pilih kamar yang mana.”
Senyuman Leila baru terulas secara natural saat ibunya meminta agar ia memilih kamar duluan. Ada empat kamar di rumah yang besar ini. Dan dua ruang keluarga karena saking besarnya.
“Pasti ini dibangun era Belanda,” gumamnya sok tahu.
Leila akhirnya memilih kamar di ruang keluarga kedua. Dan orang tuanya pun memilih kamar di sebelahnya. Secara otomatis dua kamar yang di dekat ruang tamu dan ruang keluarga pertama kosong karena Arum lebih memilih tidur di kasur besar yang terletak di ruang keluarga kedua.
“Di sini ada TV! Enak!” serunya sambil berguling-guling kesenangan.
“Tapi kamu di sini sendiri. Memangnya berani? Tidur sama Mbak-mu aja,” celetuk ibunya.
Senyum Leila langsung pudar mendengarnya. Tak bisa menyembunyikan raut ketidaksetujuannya dengan opsi yang diberikan oleh ibu. Beruntung Arum tetap kukuh dengan pendiriannya.
“Nggak mau! Sama Mbak Leila banyak tingkah!”