Saat ledakan pipa di tanggul meledak dan bapaknya berkata kalau wilayah perumahan mereka masuk zona merah, Leila sempat berpikir kalau mereka akan kembali ke pengungsian. Namun, mereka pindah ke rumah tua yang megah, bahkan tinggal serumah dengan Mira.
Hari-hari terasa lebih berwarna saat kau bersama dengan sahabat karibmu, seperti itulah kehidupan Leila. Meskipun, terkadang tetap ada perselisihan remeh temeh di antara mereka.
“Bangun! Ilermu nempel ke gulingku!”
Leila terlonjak dari tidurnya saat wajahnya mendapatkan lemparan bantal. Kesadarannya belum sepenuhnya datang, tapi ia kembali merasakan lemparan bantal dan jeritan Mira tepat di telinganya.
“Huwek! Ilermu ambu batang!49” maki Mira sambil membuang guling bermotif bunga merah ke lantai.
Dengan mata yang masih berat, Leila meraih bantal yang semula dilempar ke arahnya dan kembali meringkuk ke dalam selimut. Mengabaikan protesan Mira yang terus menggoyang-goyangkan tubuhnya untuk bangun.
“Bangun, Lei!”
“Opo seh? Minggu loh! Aku pengen tidur lagi!”
Leila makin menaikkan selimut hingga menutupi seluruh wajahnya, benar-benar tak ingin diganggu.
Mira mendengus keras-keras. Ia berusaha memutar otaknya untuk menyadarkan Leila dari mimpinya. Dalam hitungan detik, sudut bibirnya berkedut menahan senyuman jail. Ia tahu apa yang harus dilakukan.
“Ada SMS dari Adit nih!”
Mira sengaja mengeraskan suaranya sambil meraih ponselnya di meja. Leila yang tadinya meringkuk nyaman di bawah selimut langsung terlonjak dengan mata yang melebar sempurna.
“Mana? Mana?” tanya Leila dengan tergopoh.
Mira melempar ponselnya ke kasur dan Leila meraihnya dengan secepat kilat. Ia membuka kotak masuk, tapi tak menemukan nama Adit sama sekali di pesan baru.
“Mana? Nggak ada!” protesnya.
Mira menyilangkan kedua tangannya di dada. Kepalanya menggeleng prihatin. “Denger nama Adit baru mau bangun. Dasar kebo!”
“Jadi… Adit nggak SMS?” Leila bertanya dengan suara kecewa.
“ENGGAK!”
“IH!”
Leila kembali melempar ponselnya ke kasur. Tenaganya yang besar membuat ponsel itu memantul dan hampir-hampir terjatuh ke lantai. Beruntung Mira memiliki refleks yang bagus untuk menyelamatkan ponselnya.
“HP-ku hampir rusak gara-gara kamu!” keluh Mira.
Leila hanya mencebikkan bibirnya. “Salah sendiri bohong.”
Kedua tangan Mira sudah mengepal. Ia menahan diri dengan sebaik mungkin untuk tidak mencubit lengan Leila karena sahabat sekaligus sepupunya ini sangat menyebalkan pagi ini.
“Oke. Aku nggak izinin kamu SMS-an sama Adit lagi pake HP-ku,” ujar Mira.
Leila yang semula berwajah masam sontak menggeleng panik. Ia meraih lengan Mira dan memeluknya erat-erat sembari menunjukkan senyuman manisnya.
“Jangan dong. Aku belum punya HP. Kalau ada pelajaran yang nggak aku ngerti gimana?” rengeknya.
“SMS pake HP Bapakmu kan bisa. Kan cuma tanya pelajaran.” Mira menunjukkan senyuman liciknya, membuat Leila ingin menggigit lengan yang sedang dipeluk. Tapi—tidak, ia harus menahan diri untuk merayu Mira.
“Ya, kan siapa tahu dari tanya pelajaran bisa jadi yang lain,” gumam Leila, malu-malu.
Mira merotasikan bola matanya. Sudah sebulan Leila menggunakan dirinya sebagai jembatan komunikasi dengan Adit, si Ketua OSIS dari sekolah saingan mereka. Awalnya, Mira menolak mentah-mentah saat Leila berkata menyukai Adit. Namun, mengingat Adit bukan tergolong siswa nakal yang biasa merundung mereka, pada akhirnya ia luluh juga.