Kelahiran Kota Lumpur

Mbak Ai
Chapter #18

Bab 18: Seribu Pintu Masalah

“A—aku dipukul dulu…. sa—sakit….”

“Dipukul di mana?”

“Tangan… ka—ki….”

Arum menggulung lengan panjang seragam ngajinya, lalu kain celananya hingga paha dan menunjukkan lebam kebiruan yang tercetak di sepanjang kulitnya.

Bu Tun mengelus tangan dan kaki Arum yang terluka secara hati-hati. “Sakit ndak pas dipegang?”

“Sakit….”

Remang-remang lampu kuning menemani air mata Arum. Wajahnya sudah lama tenggelam dalam pangkuan Bu Tun. Kepalanya sakit, matanya pun memberat. Hanya memerlukan hitungan detik baginya untuk terlelap.

“Arum! Arum!”

Panggilan samar-samar itu membuat Bu Tun segera memindahkan kepala Arum dari pangkuannya ke atas bantal. Ia meraih selimut kain jarik yang biasa digunakan tiap malam dan memakaikannya ke tubuh Arum agar hangat.

Bu Tun bisa mengira kalau rumah sebelah sedang sibuk mencari Arum, maka ia segera keluar kamar dan menutupnya. Ia tak membiarkan kebisingan itu mengganggu tidur Arum.

“Arum!”

“Lei, kamu lihat adikmu?”

“Nggak tahu, Buk. Tadi langsung lari ae pas aku marahin.”

Bu Tun berjalan ke arah dapur bersama dan melihat Nunuk dan Leila sedang dipenuhi dengan emosi saat berbicara. Ia segera melangkah memasuki ruang tengah dengan tenang. Berhasil mengalihkan pandangan ibu dan anak itu ke arahnya.

“Arum lagi tidur,” ucapnya kemudian.

Leila menggeram kesal, “Anak kurang ajar! Udah bikin pusing malah dia seenak-enaknya tidur!”

“Leila.”

Nada suara Bu Tun merendah dan terkesan dingin hingga membuat Leila gelagapan. Meskipun perempuan paruh baya itu tak menggunakan suara tinggi, tatapan tajamnya telah menusuk-nusuk Leila.

“Kalian jangan langsung marah-marah ke Arum kayak gitu,” ujarnya, lagi.

Nunuk baru membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi Leila kembali menyahut lebih cepat, “Tapi dia emang anak nakal, Mbah! Jangan mentang-mentang dia kayak cucu kesayangan Mbah jadi tutup mata sama kenakalan dia.”

“Leila!”

Kali ini, Luluk yang memanggil Leila dengan berang. Matanya ikut melotot pada Leila yang kini makin mendengus. Diam-diam Leila semakin menaruh benci pada Arum karena membuatnya mendapat teguran dari dua orang sekaligus.

“Kenapa sih? Padahal dia emang nakal!” pikirnya, tak habis pikir.

“Arum dipukul duluan sama temennya. Tangan sama kakinya sampai lebam semua. Kalian tahu?”

Mata Bu Tun menyipit, menguliti Nunuk dan Leila dengan tatapannya yang sengit.

“A—apa?”

Nunuk yang terlihat tercengang dengan ucapan Bu Tun, sedangkan Leila masih mengeraskan rahangnya tetapi wajahnya mulai sedikit melunak.

“Iya. Dia cerita kalau sering dipukulin dan dicubitin temen-temennya di TPQ. Dia tadi kesakitan dan pengen bales perbuatan temennya,” jelasnya, sukses membuat ibu dan anak itu membisu.

“Makanya jangan langsung marah-marah tanpa tanya alasan kenapa dia sampai nusuk mata temennya,” cecarnya.

Leila merasa sangat terhakimi dengan segala ucapan dan tatapan Bu Tun. Dengan tingginya ego, ia masih membalas, “Ya… ya tapi kan ndak boleh sampai nusuk mata juga. Kalau dia buta gimana, Mbah?”

“Memang ndak boleh, makanya dinasehati secara kalem bukannya langsung marah-marah dan ngatain adikmu.” Bu Tun kembali menyanggah dengan tegas.

Leila mengepalkan kedua tangannya. Dari perdebatan ini, ia tahu kalau Bu Tun bukan perempuan paruh baya yang kalem dan pendiam seperti yang terlihat.

“Nanti kamu harus minta maaf ke adikmu,” peringat Bu Tun. “Sini, Nduk. Coba lihat keadaan anakmu,” imbuhnya dengan mengajak Nunuk untuk mengikuti langkahnya menuju kamarnya, tempat Arum terlelap.

Leila yang ditinggal di ruang tengah sendirian hanya bisa berdecak sebal. Ia memang merasa bersalah, tapi amarah di dadanya terlanjur panas hingga ia kesulitan memadamkannya.

Kakinya melangkah cepat ke kamar, tetapi mengingat ada Mira di dalam membuatnya urung. Ia juga tak ingin bertemu Mira. Bisa-bisa membuat emosinya makin berantakan mengingat hubungan mereka yang masih renggang.

Leila akhirnya memilih mandi, barangkali air dingin mampu untuk meredamkan amarahnya. Ia memilih mandi di kamar mandi belakang yang terpisah dari bangunan rumah. 

Kamar mandi itu terbangun dari bebatuan kasar yang luarnya dicat putih. Hanya ada kelambu yang menutupi sehingga kamar mandi ini jarang digunakan, apalagi air di sini jauh lebih dingin karena bak mandinya pun dari batu alami, bukan semen.

Dengan satu gayung penuh ia mengguyur kepalanya. Tubuhnya berjingkat ke belakang karena rasa dingin yang langsung menjalar hingga sum-sum tulang. Namun, ia terus mengguyur tubuhnya tanpa henti hingga dadanya yang sesak menemukan kesegaran.

Setelah lima belas menit lamanya, Leila keluar dari kamar mandi dengan badan gemetar. Ia masih mengenakan seragamnya lagi karena tak membawa baju ganti. 

Lihat selengkapnya