Kelahiran Kota Lumpur

Mbak Ai
Chapter #19

Bab 19: Obrolan Masa Depan

Sudah dua minggu berlalu sejak bapaknya meledakkan amarah karena ketahuan selingkuh. Artinya, sudah dua minggu pula ia tak bisa menatap bapaknya seperti dahulu.

Leila tak pernah memulai pembicaraan apabila sedang duduk bersama bapak. Ia juga berusaha menghindar sebisa mungkin saat berpapasan di lorong ruangan.

Entahlah….

Rasanya, ia masih belum menerima dengan perubahan drastis yang terjadi dengan bapaknya. Kemana perginya bapak yang selalu humoris itu? Kenapa kini hanya ada raut marah saat membuka pintu?

Apa karena pekerjaannya yang terlampau berat? Bukannya bapak sudah tak perlu panas-panasan dan mengaduk semen ataupun mengangkat batu lagi. Bukannya sekarang lebih nyaman karena lebih banyak menghabiskan waktu di tempat ber-AC dengan berkas-berkas di meja?

Leila tak mengerti… sungguh tak mengerti. Ia bahkan mendengar kalau bapak juga beberapa kali bertemu orang penting di negeri ini demi memperjuangkan ganti rugi untuk para korban lumpur.

Bapak sudah bekerja dengan keras demi orang lain… tetapi kenapa menjadi bengis pada keluarga sendiri.

“Biarin aja, mungkin bapakmu lagi capek.”

Ibunya terus berusaha menenangkan dirinya saat ia berkeluh-kesah tentang sikap bapak yang banyak berubah. Padahal, ia yakin seratus persen kalau bising di hati ibunya lebih berisik daripada dirinya.

“Tapi Bapak udah kelewatan nggak seh, Buk? Sampai selingkuh, mana pas ketahuan marah-marah.” Leila masih menggerutu.

“Mungkin stres karena kerjaan. Ngurus surat warga emang susah, belum lagi pihak Minarak sempet nggak setuju untuk ganti rugi.” Ibu masih sabar menjawab dengan tangan yang sibuk melipati baju-baju yang baru diangkat dari jemuran.

Leila pun juga tahu hal itu karena bapaknya selalu bercerita tentang pekerjaannya di meja makan. 

“Pihak Minarak nggak mau ganti rugi karena rumah dan tanah warga banyak yang tidak bersertifikat, hanya ada surat petok D dan letter C,”ucap bapaknya kala itu, dengan mulut yang dipenuhi dengan nasi dan sambal terasi.

Bapak beserta panitia yang menjadi perwakilan warga beberapa kali bertemu dengan para petinggi negara untuk berunding tentang ganti rugi. Semuanya sangat ruwet dan melelahkan karena harus beberapa kali keluar kota. 

Beruntung, kepelikan itu mendapat hawa segar setelah mendapat bantuan dari seorang tokoh masyarakat termasyhur di negeri ini. Dengan mediasi yang dilakukan, pihak Minarak akhirnya setuju untuk membeli tanah dan bangunan para warga korban lumpur panas dengan harga yang jauh lebih tinggi. 

“Kita dapat uang lima juta dulu buat cari kontrakan setahun. Setelah uang ganti rugi cair, kita akan beli rumah baru,” ujar bapaknya.

“Berarti kita akan pindah lagi dari sini?” Leila waktu itu bertanya, keheranan. Karena ia kira, mereka akan menetap di rumah Belanda ini.

“Tentu saja. Ini kan bukan rumah kita.”

Mendapat kabar bahwa tempat tinggal ini juga sementara, sempat membuat Leila bersedih. Sebab, ia sudah sangat nyaman di rumah Belanda ini karena bisa sekamar dengan Mira. Meskipun rumah ini tetap memberi kesan mencekam dan menyeramkan, ia menyukainya. 

“Sekarang proses pengurusan suratnya gimana, Buk? Apa kita jadi pindah dari rumah ini?” Leila bertanya lagi setelah menyelesaikan acara melipat baju dengan ibunya. 

Kedua bahu ibunya terangkat, lalu turun—tanda tak tahu menahu. “Bapakmu nggak pernah cerita lagi,” jawabnya. 

Leila menghela napas panjang. Benar. Sudah lama ia tak mendengar cerita-cerita dari bapaknya tentang kerumitan mengurus surat warga. Bapak juga sangat jarang di rumah. 

Dulu, Leila merasa iba karena memikirkan betapa lelahnya tubuh Bapak karena pekerjaannya yang memakan waktunya hingga larut malam. Kini, perasaan itu mulai terkikis karena suara hatinya yang mulai ragu dengan bapaknya. Ia tak tahu bapaknya sedang lembur karena pekerjaan atau bersama perempuan lain.

Leila tak tahu kenapa permasalahan keluarganya menjadi serumit ini. Semua yang terjadi membuatnya kehilangan senyuman. Ia lebih sering melamun, lalu menghela napas panjang lama-lama seakan-akan beban yang sedang dirasakan ikut menghilang bersama udara yang ia keluarkan. 

“Hei.”

Leila terlonjak saat merasakan dingin yang menjalar dari pipinya. Saat ia menoleh, Adit sudah berdiri dengan es krim stroberi di tangannya.

“Buat kamu. Biar nggak kelihatan loyo,” ucapnya sambil menjulurkan es krim itu pada Leila. 

Leila menerimanya dengan senyuman manis. Setidaknya, ia masih bisa tersenyum saat bersama Adit yang selalu datang di waktu yang tepat. 

“Masih sedih gara-gara Bapak?” tanya Adit setelah mengambil duduk di sebelahnya. 

Leila sedang melamun di bangku kantin sambil menunggu jam masuk. Dan di waktu itu, Adit memang sering menemaninya. Entah sejak kapan Mira dan Bagas jadi tak mau menemaninya ke kantin. 

Lihat selengkapnya