Sepertinya kekhawatiran Leila tentang masa depan terlalu berlebihan. Tak punya cukup uang untuk biaya kuliah? Ya, setidaknya… itu kan yang paling membuatnya menyerah dengan impian masa depan?
“Kita akan pindah minggu depan.” Umar berkata dengan tegas.
Apa yang diucapkan oleh bapaknya tak pernah meleset. Jika bapak sudah bilang minggu depan, artinya minggu depan mereka benar-benar enyah dari rumah kontrakan ini.
“Kita bakal ngontrak ke mana lagi, Pak?” tanya Leila dengan suara tercicit. Sudah berbulan-bulan lamanya ia tak berani menatap mata bapaknya saat mengobrol.
“Nggak ngontrak. Kita akan punya rumah baru. Bapak sudah membelinya, cash. Hanya tinggal ngurus surat-suratnya.”
Leila tak bisa menahan rahangnya untuk jatuh. Mulutnya sudah menganga lebar dan menjadi pintu bagi nyamuk untuk memasuki goanya. Leila tersedak. Tangannya mengurut tenggorokan yang terasa terlilit tali karena bangkai nyamuk yang tertinggal di tenggorokannya.
Semua ini karena salah bapaknya yang mengatakan hal-hal mustahil. Sudah membeli rumah? Tidak mungkin!
“Memangnya kita punya uang buat beli rumah?” Leila akhirnya kembali bersuara setelah mengalirkan setengah gelas air putih ke tenggorokannya yang tercekat. Nyamuk itu sudah dipastikan bermakam di lambungnya.
“Sudah. Kita sudah dapat ganti rugi,” jelas Umar.
Leila menoleh pada ibunya yang sedang memetik daun kangkung yang akan ditumis untuk makan malam. Matanya menyiratkan apa yang dikatakan Bapak benar? Dan ibunya mengangguk dengan pelan.
Ternyata semua usaha bapaknya selama berbulan-bulan lamanya mendapatkan hasil. Bukannya ia meragukannya, hanya saja ia tetap terkejut saat mengetahui mereka benar-benar akan memiliki rumah lagi dengan uang ganti rugi itu.
Bukannya rumah itu mahal?
Leila juga mendengar kalau ganti rugi dari Minarak bahkan lebih besar daripada harga normal. Apa itu artinya mereka sudah memiliki banyak uang?
“Kamu bisa jajan apa aja mulai sekarang,” ucap bapaknya.
Satu-satunya hal yang bisa Leila lakukan adalah melongo. Ia masih tak percaya dengan apa semua yang diucapkan bapaknya. Mungkin bapak sedang berhalusinasi. Atau sedang berupaya memperbaiki hubungan dengan keluarga karena telah dingin dan kasar selama tiga bulan terakhir.
Setidaknya, itulah yang bisa ia pikirkan sampai mereka benar-benar keluar dari kontrakan seminggu kemudian. Leila memeluk tas ranselnya dengan wajah termangu saat melihat orang tuanya sedang berpamitan dengan Bu Tun.
Barang-barang mereka sudah diangkut di mobil pick up. Semuanya sudah siap untuk pergi, hanya Arum yang masih menangis di pelukan Bu Tun dan menolak melangkah lagi.
“Nggak mau! Nggak mau!” Arum menjerit saat ibu menariknya dari pelukan Bu Tun.
“Kamu bisa main ke sini kapan-kapan. Ndak apa, Nduk,” tenang Bu Tun, tetapi Arum masih meraung-raung. Kedua tangannya masih kaku terarah pada Bu Tun agar ia kembali ke pelukannya.
Arum akhirnya harus masuk ke mobil karena dia dipastikan akan memberontak apabila naik motor bersama orang tuanya. Bisa-bisa bapak tak bisa menjaga kemudi dan menabrak kendaraan lain apabila Arum masih tantrum juga.
“Jaga adikmu ya, Lei!” pesan ibunya sebelum naik ke motor bersama bapak.
Leila ingin protes. Rasanya lebih baik menjaga ayam jago daripada Arum yang sedang berontak. Kepala Leila rasanya pening sekali saat kaki Arum mulai menendang-nendang dashboard mobil.
Lek Gani selaku pemilik mobil sudah menghadiahinya dengan lirikan tajam. Namun, kaki Arum masih saja tak bisa diam meski Leila sudah berkali-kali menahannya.
“Sepuntene, Lek,” ucapnya dengan dipenuhi perasaan bersalah. Kemudian, ia melotot sebal pada Arum sembari berdesis, “Kalau masih nangis ae, kamu diturunin di tengah jalan!”
Ancaman itu rupanya manjur. Rengekan Arum perlahan mereda. Kedua kakinya yang semula berada di dashboard langsung diturunkan. Arum sudah pernah merasakan betapa kejamnya Leila saat marah sehingga ia tak mau mengalaminya untuk kedua kalinya.