Leila sudah merasakan kiamat selama tiga kali; pertama saat lumpur datang tengah malam ke dusun, ledakan hebat yang membuat kompleks perumahannya terkurung bayangan api seperti di neraka, dan saat orang tuanya bertengkar.
Ia kira kebahagiaan yang datang bersama kekayaan ini seperti baju zirah yang melindunginya dari kesakitan lagi, tetapi malah meremukkan tubuhnya hingga tulang belulangnya patah.
Sejak ia berkata tidak pada pertanyaan bapak, tak ada kata lain yang keluar dari mulutnya sejak dua hari. Bibirnya terkunci rapat karena takut akan berteriak marah jika terbuka barang sedikit.
“Leila, makanlah dulu.”
Suara ibunya menjadi pertama yang terdengar sewaktu pulang sekolah. Gelengan kepala digunakan sebagai jawaban, lalu berjalan cepat masuk kamar. Mengunci erat-erat agar ibunya tak bisa menyelonong dan memaksanya membuka mulut.
“Leila, ayo makan. Ibuk masak ayam kecap kesukaan kamu.”
Nyatanya, ketukan pintu terus bergema menekan telinga. Leila ingin naik ke kasur dan menggulung dirinya dengan selimut, tapi keberadaan Arum yang ternyata sudah lebih dulu di dalam kamar membuatnya masih mematung di sebelah dipan.
“Mbak, dipanggil Ibuk loh,” ucap Arum seraya melanjutkan bacaan bukunya.
Leila mendumel samar. Arum baginya terlihat sebagai anak kecil yang sok pintar. Dia suka sekali membaca di rumah, tapi nilai-nilainya di sekolah tetap merah.
“Nggak lapar,” jawab Leila, dingin.
Leila meletakkan tas di kursi belajar, lalu duduk memunggungi Arum yang sedang menguasai kasurnya. Leila sudah meraih ponsel untuk memilih lagu yang akan menemaninya belajar, tetapi pekikan ibunya yang semula teredam pintu menjadi terdengar jelas.
“Leila! Kamu tadi udah nggak sarapan, nggak makan siang, sekarang juga nggak mau makan malam! Tinggal makan apa susahnya sih, Lei?!”
Leila menoleh. Setengah mati menahan kesal karena menyadari pintu yang semula terkunci sudah terbuka lebar-lebar. Pelakunya sudah pasti Arum yang kini duduk di tepi tempat tidur dengan buku ceritanya.
“Nggak mau ya nggak mau, Buk!” jerit Leila, sudah sepenuhnya frustrasi. Ia sudah menekan emosionalnya dalam-dalam hingga membuat dadanya nyeri tak tertahan, tetapi ibunya selalu saja memantik api yang ingin ia padamkan.
“Bilang kenapa nggak mau? Nggak suka lauknya? Biar Ibuk masakin yang lain!” Nunuk ikut menaikkan suaranya. Jengah juga melihat putri sulungnya yang hampir tak pernah makan.
“Aku males makan aja! Wis ta, Buk! Aku mau belajar. Jangan ganggu!” Leila kembali memutar tubuhnya ke meja belajar. Emosi yang memuncak membuat tangannya gemetar saat menyalin persoalan di buku tulis.