Bapak baru pulang setelah lima hari menghilang. Kedatangannya tentu saja menyulut perang besar. Leila hanya melihat sisa-sisa kericuhan itu dari banyaknya pecahan piring dan gelas berserakan di dapur hingga ruang tengah.
Sinar matahari di luar sangat panas dan ia berencana mendinginkan diri dengan memonopoli kipas angin. Namun, kekacauan itu membuatnya kembali melangkah keluar rumah.
Ia mengendarai motornya tanpa arah. Pikirannya pun penuh dengan praduga seberapa besar pertengkaran orang tuanya tadi. Dan sampai kapan ia harus mengalami hal ini?
Motor matic itu akhirnya berhenti di warnet. Ia membeli paket untuk dua jam dan mendapat tempat di bilik paling sudut. Matanya sangat berat hingga ia langsung meletakkan kepalanya di meja setelah menggeser keyboard.
Ia ingin tidur, tetapi air mata terus menyeruak di sela jeruji kelopak matanya. Namun, ia membiarkan air mata itu hingga menjadi genangan di meja. Ia berencana untuk membersihkannya setelah puas menangis.
Ia tak bisa menghitung seberapa lama ia menangis hingga jatuh terlelap. Di dalam mimpi ia tengah berada di lapangan belakang rumah sambil mengejar layangan bersama Mira dan Bagas yang tampak sangat muda. Ada Arum di belakangnya, juga bapak-ibu yang duduk di tepian sambil mengobrol.
Mimpi itu hanya bunga tidur sederhana, tapi menciptakan kehangatan yang lama tak dirasakan. Ia ingin tetap berada di sana, bermain bersama teman-temannya, berkumpul dengan penuh canda bersama orang tuanya, tetapi ia terperosok dalam lubang hingga membuat tubuhnya berjingkat.
“Mbak! Mbak!”
Leila menoleh panik ke sebelah kiri. Seorang lelaki berkumis di bilik sebelah menatapnya dengan kesal.
“Ada telepon tuh dari tadi. Diangkat atau dimatiin gitu. Ganggu banget suaranya,” keluhnya sambil memasang kembali headphone yang semula melingkar di lehernya.
“Iya, Mas. Maaf.”
Leila menarik tasnya dan membuka resleting depan tempat ponselnya berada, tetapi dering panggilan itu berakhir saat ia baru berhasil meraih ponselnya.
Sepuluh panggilan tak terjawab. Tiga dari bapaknya dan tujuh yang lain dari Mira. Selain itu, ada beberapa pesan yang belum terbaca.
“Lei, di mana? Dicariin ibukmu.”
Leila menahan napasnya saat membaca pesan pertama. Kemudian, sudut matanya melirik penanda waktu di komputer yang menunjukkan ia sudah sembilan puluh menit terlelap di warnet. Sekarang sudah hampir jam lima sore, pantas semua orang panik mencarinya.
Di dalam kepala, ia membayangkan ibunya yang mendatangi rumah Mira dengan mengomel. Mira dan keluarganya memang sudah pindah di gang sebelah rumahnya dua hari yang lalu. Namun, ia sendiri belum sempat mendatangi karena terlalu sibuk dengan segala permasalahan di hidupnya.
“Lei, bales!”
Leila masih terus membaca pesan-pesan yang lain, kemudian melotot kaget saat membaca pesan terakhir.
“Ibukmu nyariin awakmu sampe nangis-nangis.”
Leila mematikan komputernya dengan kalang-kabut. Kepalanya sudah dipenuhi dengan bayangan ibunya yang sedang menangis panik. Sial. Ia paling tak suka membuat ibunya menangis, tetapi sudah beberapa kali ia melakukannya tanpa sadar.
“Leila!”
Leila baru menurunkan jagang motornya di garasi saat suara ibunya sudah meleking saat memanggilnya.
“Kamu dari mana saja?!” tanyanya dengan kedua tangan berkacak pinggang.
Leila diam-diam bernapas lega saat tak melihat wajah sembab ibunya. Baguslah. Artinya dia tak menangis terlalu lama hanya untuk mencarinya.
“Warnet,” jawab Leila dengan pendek.
Leila berjalan melewati ibunya dengan ransel yang merosot di bahu kiri. Ibunya masih mengekor sambil terus mengoceh.
“Kenapa nggak bilang dulu? Ibuk nyariin kamu—”
“Salah sendiri nyariin.”
Lagi-lagi Leila tak bisa menahan mulutnya sendiri yang sudah bersuara tanpa berpikir.
“Leila!”
Pekikan ibunya terdengar makin tinggi. Leila memejamkan mata barang beberapa detik, lalu membalikkan tubuhnya demi menatap wajah ibunya yang sudah mengeras kesal.
“Bisa nggak jangan bales omongan terus?!” bentaknya.
“Aku capek,” jawab Leila dengan helaan napas berat.
Ia kembali melangkah menuju kamarnya. Mencoba mengabaikan suara ibunya yang kembali menyuruhnya untuk makan.
“Lei, makan dulu! Leila!”
Leila kembali mengunci pintu kamarnya. Beruntung tak menemukan Arum di kasurnya. Ia menendang tasnya yang sudah merosot sampai lantai, lalu membaringkan tubuh ke kasurnya yang super empuk.
Ponsel di saku kemeja kembali bergetar hingga membuatnya hampir mengumpat. Satu pesan baru, dari Mira lagi.
“Kamu di mana sih? Jangan sok jadi anak nakal. Nyusahin orang tua ae.”
Leila sudah cukup marah pada keadaan, juga pada dirinya sendiri yang tak bisa mengatur emosi, dan sekarang Mira seolah sedang mengajukan diri untuk dibenci. Jari-jemarinya membalas pesan itu bersama amarah yang sudah sampai ubun-ubun.
“Nyocot! Urus masalahmu dewe!”