Kelahiran Kota Lumpur

Mbak Ai
Chapter #24

Bab 24: Menanti Dunia Membaik  

Ujian nasional hanya tinggal menghitung hari. Jadwal belajar Leila semakin padat. Sudah beberapa kali Leila pulang cukup larut dari rumah Adit sehingga membuat ibunya mulai tak mengizinkannya belajar di luar.

“Ajak saja temenmu belajar di sini,” ucapnya.

Jadi, Leila datang bersama Adit di Jumat sore—dua hari sebelum ujian datang. Ibu menyambut Adit dengan riang, bahkan sudah menyiapkan cemilan berupa apel yang sudah dipotong-potong dan anggur merah kesukaannya.

“Kalian belajar berdua saja?” tanya Nunuk setelah Leila dan Adit mengeluarkan buku bahasa Indonesia yang menjadi ujian pertama di hari Senin.

“Iyalah, Buk. Sama siapa lagi?” sahut Leila dengan terus membalikkan buku latihan soal.

“Mira? Bagas?”

Tangan Leila yang semula sibuk membalikkan lembar halaman langsung membeku.

“Kayaknya udah lama kamu nggak main sama mereka. Kemarin Ibuk sempet lihat Mira lagi jajan bakso di gang depan, tapi tumbenan kamu nggak ikut.” Nunuk mengamati perubahan air muka Leila dengan lebih serius.

“Lagi nggak pengen bakso,” ucapnya secara asal.

“Oh....” Nunuk mengangguk-angguk. Mereka sedang bertengkar, simpulnya.

Wajah Leila sangat mudah untuk dibaca sehingga Adit pun bisa merasakan aura tak bersahabat saat Leila berbicara tentang teman-temannya.

“Kamu masih berantem sama temenmu itu?” Adit bertanya dengan suara sepelan mungkin karena takut menyinggung Leila. Pasalnya, pembahasan tentang Mira dan Bagas seringkali membuatnya cemberut.

“Hm. Nggak usah bahas mereka, kita lanjut belajar aja.” Leila menunjuk latihan soal terakhir yang belum mereka kerjakan.

“Ayo selesaiin semua soal, terus belajar matematika sekalian,” lanjutnya.

“Oke.” 

Adit sudah menduga kalau Leila masih tak ingin bercerita tentang teman-temannya, jadi ia mengikuti alur dengan memfokuskan diri mengerjakan soal-soal prediksi ujian.

Lima puluh soal itu dikerjakan dalam waktu satu jam, lalu berlanjut ke matematika yang membutuhkan waktu lebih lama. 

Di saat Leila sudah sampai di nomor 38, ia merasa lega. Tinggal dua soal lagi, maka belajar hari ini akan selesai. 

Setidaknya, itulah harapannya. Sampai ia mendengar klakson mobil yang sengaja ditekan nyaring selama beberapa kali, diikuti dengan pekikan dari bapaknya di luar pagar.

“Cepet buka pagernya!”

Leila buru-buru berdiri, tetapi ibunya sudah lebih dulu berlari menuju pintu. Ibu menarik pagar besi itu ke samping untuk membuka jalan bagi bapak. Ketika Leila melihat bapaknya turun dari mobil, ia sudah menutup bukunya.

“Belajarnya selesai. Kamu pulang aja,” ucapnya dengan mengusir Adit terang-terangan.

“Oke….”

Adit tentu kebingungan, tetapi perasaan itu teralihkan saat mendengar suara keras di depan garasi. Ia menoleh pada Leila yang kini hanya bisa menunjukkan senyuman kecut.

“Bapakku.”

Leila hanya menjawab satu kata, tetapi Adit bisa mengerti. Ia mengangguk kecil dan berdiri cepat-cepat sebelum mendengar pertengkaran orang tua Leila lebih lama lagi. Ia sudah seperti berada di tempat yang tidak seharusnya.

“Hati-hati.” 

Leila melambaikan tangannya. Beruntung rumah itu memiliki dua pagar utama sehingga Adit bisa lewat tanpa harus menghadapi pertengkaran orang tuanya di halaman yang lain. Setelah kepergian Adit, ia cepat-cepat membereskan bukunya ke kamar.

Lihat selengkapnya