Kabar buruk.
Leila dan Mira masuk ke SMA yang berbeda. Saat melihat papan pengumuman, Mira tak masuk ke sekolah negeri yang dipilih. Akhirnya, Bagas dan Mira bersekolah di SMA Kusuma yang tak jauh dari rumah, sedangkan Leila dan Adit masuk ke sekolah negeri di pusat kota.
Leila terus mengalami hal yang sama sejak masuk SMA. Banyak sekali murid yang terus mendatanginya untuk interogasi saat mengetahui ia korban lumpur lapindo.
“Lei! Lei! Kamu dari lapindo, kan? Ceritain dong! Itu gimana sih? Kok bisa sekarang nenggelamin banyak desa?”
“Lei, emang itu gara-gara ada siluman ular yang tidurnya diganggu ya? Terus ngamuk dan ada semburan?”
“Enggak! Itu karena ngebornya kena kerajaan jin! Terus ngamuk!”
Bangku Leila selalu penuh dengan empat sampai enam anak yang mengelilingi silih berganti. Semuanya menanyakan hal yang sama dan Leila pun menjawab dengan gelengan bingung.
“Aku juga nggak tahu.”
Kemudian, mereka akan mendesah kecewa dan bubar barisan. Leila tak mengira kalau bencana di dusunnya bisa menjadi hal yang menarik bagi orang lain. Kejadian itu bahkan sudah menjadi legenda baru yang tersebar dari mulut ke mulut.
Leila memang pernah mendengar kasak-kusuk itu. Katanya juga ada sayembara untuk para dukun dan orang pintar yang bisa menghentikan semburan, tetapi tak ada yang berhasil sampai detik ini. Bahkan ada rumor yang mengatakan kalau luapan lumpur lapindo bisa sampai puluhan tahun.
“Diwawancara lagi hari ini?” Adit menyerahkan sebotol air mineral dingin pada Leila yang baru keluar kelas.
“Hm. Nggak bosen-bosen mereka,” jawabnya setelah meneguk minumannya.
“Nanti kalau udah tiga bulan bakal bosen.” Adit mengelus puncak kepala Leila hingga kerutan di dahinya memudar.
Leila menepis tangan Adit dan berlalu karena terlalu malu. Mereka baru menjalin hubungan resmi selama dua minggu, rasanya masih aneh saat akhirnya orang yang disukai benar-benar menjadi pacarnya.
“Nanti pulang sekolah nge-mall dulu yuk.” Adit berjalan di sisinya dengan tangan yang melingkar di bahu Leila.
“Boleh. Lagian aku nggak suka di rumah,” balasnya dengan wajah yang kembali tertekuk. Teringat bagaimana kekacauan yang selalu terjadi setiap ia membuka pintu sepulang sekolah.
“Kalau gitu kita main aja sampai malem ke timezone,” usul Adit.
Leila mengangguk setuju. “Aku telfon rumah dulu, izin ke Ibuk biar nggak nyariin.”
Setelah membuat ibunya mencarinya sampai menangis-nangis, Leila tak pernah lagi keluar tanpa izin. Ia bahkan akan menghubungi telepon rumah walau diajak Mira makan bakso dulu.
“Diizinin?” tanya Adit setelah Leila memasukkan kembali ponselnya ke saku.
“Boleh, tapi nggak bisa sampai malem. Arum lagi sakit soalnya.” Bahu Leila merosot lesu. Kegembiraan yang semula datang saat membayangkan main sepuasnya di timezone sudah lenyap.
“Nggak apa! Kapan-kapan kita bisa main sepuasnya!”
Adit dan Leila keluar sekolah dengan berboncengan. Sejak hari pertama SMA, Adit sudah menjemput Leila, mengatakan kalau mulai hari itu mereka akan selalu berangkat dan pulang bersama.
Mereka menjadi pasangan yang terkenal dalam waktu singkat. Bagaimana lagi? Anda baru yang seharusnya masih masa perkenalan satu sama lain, tapi rupanya ada yang dekat sejak masa orientasi.
Leila juga sering mendengar desas-desus tentang dirinya, tetapi ia mencoba menutup telinga rapat-rapat. Hidupnya di rumah sudah pelik dan tak ingin menambah kerumitan di sekolah. Selama ada Adit di sisinya, ia tak masalah.
Oh, dan ia tak melupakan Mira yang masih sering main ke rumahnya beberapa kali—tentunya saat ia tak memiliki jadwal kencan dengan Adit.
“Bagas akhir-akhir ini aneh deh,” celetuk Mira, mengawali sesi curhat malam ini.
Mereka baru saja makan bersama dan Mira berencana menginap di rumahnya karena besok minggu.
“Aneh kenapa?” Leila menyahuti dengan mata yang masih fokus pada ponsel, sedangkan jari-jemarinya bergerak cepat di keypad untuk membalas pesan Adit yang mengatakan kalau acara keluarga besarnya membosankan dan akan lebih baik kalau mereka malam mingguan di alun-alun.
“Dengerin kek!” Mira menimpuk Leila dengan boneka beruang di sisinya.
Leila terperangah, tapi kemudian menyimpan ponselnya ke atas nakas dan memeluk boneka itu seraya duduk tegap menghadap Mira yang sudah cemberut.
“Iya, maaf… maaf. Aneh kenapa Bagas?”