Tahun 2012 dipenuhi dengan kabar burung tentang datangnya kiamat. Semua bermula dari kalender suku Maya yang berakhir pada 21 Desember 2012, dibakar lagi dengan film yang berjudul 2012 dengan font tebal menyeramkan dan latar poster tsunami besar.
“Kalian udah nonton filmnya belum?”
Gio, si rambut jabrik, masuk ke ruang kelas dengan heboh.
“Wis! Seru pol!” Sania memberikan dua jempolnya. Wajahnya berseri-seri alih-alih ngeri.
“Halah! Filmnya nggak realistis! Amerika doang itu yang kiamat.” Bimo yang sejak tadi fokus ke ponselnya ikut nimbrung.
“Ya iyalah! Namanya juga film! Nggak mungkin juga tahun ini kiamat!” sahut Sania, mulai sensi.
“Tapi gimana kalau emang beneran kiamat? Kalian udah siap?” Gio kembali memercikkan pertanyaan yang membuat semua orang merinding.
Membayangkan dunia ini akan berakhir dengan bencana besar membuat perut bergejolak mual. Sania menggeleng cepat, begitu pula Bimo yang sudah mengerut.
“Nggak siap ah! Belum nikah.”
“Masih banyak dosa juga.”
Gio tergelak melihat air muka teman-temannya yang jadi cemberut. Namun, tawanya menguap saat menyadari Leila yang sejak tadi duduk di sebelah Leila tetap diam tak berkutik.
“Serius amat, Buk.” Gio mengambil buku catatan yang sedang Leila baca untuk menarik perhatiannya.
Tentu saja usahanya berhasil, karena Leila sudah menatapnya dengan malas.
“Kembaliin,” pintanya dengan suara rendah.
Selama tiga semester mengenal Leila, Gio tahu kalau dia bukan perempuan yang ramah. Leila lebih banyak diam dan memberikan tatapan tajam pada siapapun yang mengusiknya. Namun, ia tetap menjadi orang pertama yang memunculkan taring Leila.
“Ikut nimbrung dong. Kalau tahun ini kiamat gimana?”
“Ya sudah.”
Sebelah alis Gio meninggi. Jawaban itu terlalu sederhana untuk pertanyaan ekstrem. Sania dan Bimo bahkan ikut melongo mendengarnya.
“Nggak takut emang?” sahut Sania.
Leila mengedikkan bahu. Ia mengeluarkan ponsel dari tas karena bukunya masih di tangan Gio.
“Gila! Pemberani banget! Udah punya banyak tabungan pahala kali dia,” dengus Bimo, setengah menyindir.
Di tengah kericuhan itu, Leila tetap setia dalam heningnya. Ia memang tak begitu tertarik dengan pembahasan kiamat. Jika kiamat bermaksud tentang kehancuran, ia sudah mengalaminya berkali-kali.
Sekarang ia sudah di fase hampa dan kosong. Ia memilih menjadi daun yang tersapu aliran sungai. Menyerah dan pasrah akan alur kehidupan yang membawanya.
Leila tak pernah berharap lagi, juga tak ingin membuka hati—baik dalam romansa ataupun persahabatan. Kesendirian sudah menjadi temannya sejak pengkhianatan Adit.
Air mukanya selalu datar; tak pernah tersenyum atau bersedih. Banyak orang mengatainya robot berjalan. Oleh karena itu, Gio yang sejak tadi memperhatikannya langsung terkejut saat melihat wajah piasnya setelah mengangkat telepon.
“Lei, pulang! Adikmu demam tinggi dan muntah-muntah terus, tapi bapakmu nggak bisa dihubungi.”
Leila berlari keluar kelas. Mengabaikan buku catatan yang masih dipegang Gio, juga kenyataan bahwa Pak Subandi tak akan mengizinkannya ikut ujian semester akhir dengan absensi yang lebih dari tiga kali.
Perjalanan dari kampus ke rumah memakan waktu satu jam setengah, tetapi Leila bisa menghemat tiga puluh menit. Ia berlari masuk ke rumah saat mendengar raungan Arum yang terdengar sampai teras.
“Arum kenapa, Buk? Kok sampai gini?”
Leila menempelkan punggung tangannya ke dahi Arum, lalu mengelus pipinya yang sudah basah karena keringat dan air mata.
“Dari semalam demam, terus Ibuk kasih obat. Subuh tadi sudah turun demamnya, tapi abis sarapan panas lagi dan nggak berhenti muntah.” Nunuk menjelaskan dengan nada gemetar.
“Arum udah lemes banget, Buk. Kenapa nggak minta anterin Pak De aja biar dianter ke rumah sakit?”
“Pak De-mu udah berangkat kerja. Mira kuliah, nggak bisa bawa mobil juga.”
Di tengah kekalutan itu, hatinya masih mencelos kala mendengar nama Mira. Namun, ia berusaha menepisnya dan membopong tubuh lemah Arum agar bangkit dari kasur.
“Ya sudah, pakai motor aja bonceng bertiga. Pakein jaket, Buk. Nanti pegang Arum kuat-kuat biar nggak jatuh.”
“Iya, Nduk.”
Nunuk mengambil jaket Arum dengan iringan jantung yang siap meledak kapan saja. Kondisi Arum sudah pucat pasi, badannya tak berhenti menggigil, dia juga terus muntah dan menangis.
Leila yang bahkan tak memiliki hubungan dekat dengan Arum ikut terenyuh melihat kondisi Arum. Tubuh Arum terasa ringan karena dia sangat kurus sehingga membantunya berjalan menuju teras bukanlah hal sulit.
Beruntung jarak rumah sakit tak terlalu jauh, hanya satu kilometer. Setibanya di rumah sakit, satpam rumah sakit langsung mengambil alih Arum dan membawanya dengan kursi roda menuju UGD.
Leila tak pernah tahu kalau menunggu hasil periksa dokter akan semenegangkan ini. Dokter bernama Yulio itu mengarahkan senter ke mata Arum yang layu, mengecek detak jantungnya, lalu menekan-nekan perut Arum sampai dia merintih makin kesakitan.