Kelahiran Kota Lumpur

Mbak Ai
Chapter #28

Bab 28: Anak Perempuan dan Ayah

 Arum terdiagnosa depresi. 

Adiknya yang baru berusia tiga belas tahun terdiagnosa depresi. 

Lorong rumah sakit itu dipenuhi beberapa orang yang sedang duduk termangu menunggu resep obat, tapi di ujung koridor Leila merasa kosong. Dengung nyaring memenuhi telinganya, menyumbat semua penjelasan dokter dan tangisan ibunya yang menggebu-gebu.

Leila menoleh pada Arum yang masih duduk di dalam ruangan dengan mata yang menatap tetes demi tetes cairan infus di tangannya. Mata itu dipenuhi dengan kehampaan dan Leila baru menyadarinya. 

“Arum….”

Kedua kakinya sudah terkulai lemas, tetapi ia tetap memaksa berjalan mendekati Arum yang melihatnya dengan kebingungan.

“Aku sakit apa, Kak? Dokternya tanya banyak tadi.”

“Nggak… nggak apa-apa.”

Terlalu mustahil untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada Arum. Dia baru tiga belas tahun. Ulang tahunnya baru sebulan yang lalu. 

Di usia yang sama, Leila masih bisa bermain dan bermimpi sepuasnya. Namun, adiknya harus meyimpan derita yang menghancurkan jiwa dan raganya. Leila menggenggam tangan Arum yang kurus kering. 

Pertahanannya kembali runtuh. Tumitnya terjerembab di lantai yang dingin. Wajahnya menunduk dalam, menyembunyikan isakan meski sebuah kesia-siaan.

“Mbak… jangan nangis.”

Saat jari-jemari Arum menyusuri pipinya untuk menghapus air mata, Leila makin tersedu-sedan. Bagaimana bisa Leila baru sadar kalau tubuh Arum lebih kecil daripada anak seusianya? 

“Maaf ya, Dek….” Leila menangkap tangan itu, lalu mengecupnya beribu kali. “Maafin Mbak.”

Arum masih memandangnya dengan bingung, tapi tetap mengangguk. Ia bahkan mengelus-elus punggung Leila sewaktu tenggelam dalam pelukan. 

“Jangan nangis, Mbak.”

Nyatanya, suara Arum malah membuat air matanya tak menemukan titik akhir.

***

Arum baru pulang dari rumah sakit setelah lima hari dirawat secara intensif. Leila sudah melihat rangkaian jadwal konsultasi Arum dengan Dokter Linda untuk sebelum ke depan.

“Nanti Mbak anterin ke rumah sakit lagi,” celetuk Leila.

“Emangnya masih perlu ke rumah sakit? Aku sama Bu Linda cuma ngobrol kok, terus aku diajak nulis kayak buku diary.” Arum menunjukkan buku kecil bersampul merah muda pada Leila. “Bu Linda yang memberiku ini, katanya hadiah.”

“Bu Linda baik banget ya,” timpal Leila. Ia mengelus puncak kepala Arum dengan gemas. “Kalau gitu jangan berhenti nulis semua perasaan kamu di buku itu.”

“Iya, Mbak.”

Setelah ibunya menyelesaikan administrasi, mereka bertiga kembali ke rumah dengan tetap berboncengan tiga. Bapaknya tak pernah lagi menjenguk setelah membuat kericuhan di rumah sakit. Dan sebenarnya, Leila cukup ragu untuk membawa Arum ke rumah mengingat kemungkinan besar akan ada amukan lagi.

“Loh kita mau kemana, Lei?” Nunuk kebingungan saat Leila membelokkan motornya ke dalam gang ketika jarak rumah hanya tinggal tiga meter.

“Kita nitipin Arum ke rumah Pak De dulu aja, Buk.”

“Kenapa?”

“Udah, Arum di sana dulu aja.”

Ke rumah Pak De sama dengan harus menemui Mira. Akan tetapi, Leila tak memiliki pilihan lain. Ia sudah bertekad untuk memprioritaskan Arum, termasuk kenyataan bahwa ia harus mematikan egonya.

“Leila?!”

Keterkejutan memenuhi wajah Mira saat melihatnya. Leila bisa maklum karena ia mengunjungi rumah Pak De hanya saat lebaran saja sejak kejadian pengkhianatan itu.

“Aku mau nitip Arum sebentar.” Leila turun dari motornya setelah ibu dan Arum. 

Meski masih terlihat gugup tak karuan, Mira tetap membuka pagar lebih lebar. Leila melewatinya tanpa bicara lagi.

“Kenapa ini? Arum udah sembuh?” Ayu menyambut dengan raut tak jauh berbeda dengan Mira.

Arum mengangguk. “Udah, Bu De.”

“Bu De, Leila mau ngomong sebentar.” Leila mengisyaratkan Ayu untuk memberi ruang bicara dengan matanya. “Arum, kamu masuk ke kamar Mbak Mira dulu ya,” lanjutnya dengan menggandeng Arum menuju kamar yang dulu menjadi basecamp.

“Boleh, kan?” Leila baru bertanya pada Mira yang mengekor sambil menaikkan satu alisnya. Wajahnya jelas menyiratkan pemaksaan, tapi Mira tetap mengangguk dengan kaku.

Lihat selengkapnya