Leila sudah siap berangkat ke rumah sakit bersama Arum dan ibunya. Mereka akan kembali berboncengan bertiga, tetapi mobil di garasi ternyata sudah dipanaskan oleh bapak yang sudah rapi dengan setelan kemejanya.
“Ayo! Lama banget,” gerutunya.
Mereka bertiga berpandangan selama beberapa saat, lalu buru-buru meletakkan kembali helm ke atas rak sepatu dan masuk ke dalam mobil.
“Tetep di rumah sakit Rahman, kan?” tanyanya dengan mulai mengemudikan mobil keluar rumah.
“Iya, Pak.”
Ibunya duduk di kursi depan menemani bapak, sedangkan Leila dan Arum di kursi belakang. Ada gejolak lega dan bahagia mendapati bapaknya turut ikut sesi terapi keluarga. Dan Leila terus berharap hati bapaknya semakin melembut.
Genggaman tangan Leila pada Arum terpaksa harus terlepas saat ponselnya terus-menerus bergetar. Ia meraih ponsel dari saku kemejanya, lalu membuka pesan berturut-turut dari Gio.
“Lei, you okay?”
“Absensimu udah bolong banyak. Pak Jamal sampe nyariin.”
“Minggu depan kita ada ujian akhir. Kamu harus masuk.”
Seketika kepalanya pening membaca semua pesan itu. Benar. Ia harus kembali kuliah, tetapi tak mungkin rasanya meninggalkan Arum di keadaan yang belum stabil.
“Ya.”
Akhirnya, ia hanya membalas pesan-pesan Gio dengan satu kata. Kemudian, ia menyimpan kembali ponselnya ke saku setelah mengatur ke mode hening. Mereka tiba di rumah sakit lebih cepat karena jalanan yang lengang.
“Halo, Arum!” Bu Linda menyambut dengan pelukan hangat, lalu mengelus pipi Arum dengan senyuman lebar.
“Gimana perasaannya hari ini?”
“Baik, Bu.”
“Good. Hari ini Arum main sama Kak Ina dulu ya, soalnya Ibu mau ngobrol sama keluarga kamu.” Bu Linda menunjuk perempuan muda yang berdiri tak jauh darinya.
Leila menduga, mungkin Ina masih mahasiswa semester akhir yang sedang koas atau dokter baru.
“Ayo, Arum.”
Ina menggiring Arum memasuki ruangan yang berbeda, sedangkan Bu Linda suda mempersilakan Leila dan orang tuanya untuk duduk di sofa panjang. Bu Linda mengambil duduk di sofa tunggal dengan beberapa berkas di dekapannya.
“Selamat datang nggeh, Pak…. Bu... Terima kasih telah hadir pada sesi kali ini,” sambut Bu Linda dengan ramah. “Hari ini, kita akan membahas bagaimana kita bisa bekerja sama untuk mendukung Arum dalam proses penyembuhannya.”
Bu Linda membuka beberapa catatannya sebelum kembali berbicara, “Arum memiliki perasaan tertekan dan kecemasan berlebih. Selama sesi terapi, Arum terlihat aktif membicarakan perasaannya. Di dalam jurnal yang ditulis, Arum juga lebih bisa mengungkapkan segala ketakutannya termasuk kegelisahannya karena sering dimarahi.”
Leila dan Nunuk melirik ke Umar yang duduk di tengah-tengah. Bu Linda menyadari hal itu, lalu tersenyum maklum.
“Jadi, sesi ini bertujuan untuk menemukan cara mendukung Arum agar lebih nyaman di rumah. Bagaimana perasaan Bapak, Ibu, dan Ananda Leila tentang masalah ini?”
Leila ingin membuka mulut, tapi bapak lebih cepat menyahut, “Saya nggak ngerti kenapa ini harus dipermasalahkan. Dulu itu, Buk.. saya juga mengalami masa-masa sulit! Bahkan lebih sulit dari anak-anak sekarang! Saya harus kerja keras dari kecil karena anak yatim, tapi nggak pernah tuh kena penyakit mental. Semua ini cuma akal-akalan Arum aja buat cari perhatian.”
Semua orang di ruangan itu menatap Umar dengan kaget. Terutama Leila yang semula mengira bapaknya sudah sadar karena mau diajak ke rumah sakit, tetapi nyatanya dia tak berubah sama sekali—tetap menyalahkan Arum.
“Saya bingung, kenapa hal selekeh gini aja jadi masalah besar? Arum hanya perlu lebih kuat dan berhenti mengeluh. Semua orang juga stres kan, Buk? Anak SMP apalagi, stres apaan? Kerjanya cuma main aja.”
Kedua tangan Leila sudah mengepal di bawah meja. Ingin sekali ia berseru kalau bapaknya yang membuat Arum stres sampai depresi, tetapi ia harus menahan diri karena yakin Bu Linda lebih bisa menanggapi.
“Pak Umar, saya mengerti bahwa Anda mungkin merasa frustrasi dan bingung. Namun, kesehatan mental adalah hal yang sangat penting dan nyata. Ini bukan tentang Arum sebagai anak lemah atau kuat. Depresi yang dialami adalah kondisi medis yang serius dan membutuhkan perhatian dan perawatan.”
“Begini ya, Buk.” Umar makin menegakkan punggung. Tangannya ikut bergerak di tiap kata yang diucap. “Saya tahu kalau Bu Linda seorang profesional, tapi saya rasa yang dialami anak saya bukan penyakit. Dia cuma ngalem! Manja! Cari perhatian! Diemin aja nanti juga sembuh sendiri.”
“Pak!” Leila tak tahan untuk menekan suaranya.
Bu Linda masih tersenyum dan menatapnya dengan kalem seolah memberinya sinyal untuk tetap tenang.
“Penting untuk memahami bahwa depresi bukan hanya masalah sifat manja yang membutuhkan waktu atau ruang. Ini melibatkan perubahan kimiawi di otak yang mempengaruhi bagaimana seseorang merasa dan berfungsi.” Bu Linda menjelaskan dengan suara setenang debur ombak ringan di tepi lantai.
“Dengan dukungan yang tepat, Arum bisa merasa lebih baik dan mulai sembuh. menurut Bapak, apabila Arum mengalami masalah kesehatan fisik yang memerlukan perawatan medis. Anda tentu akan melakukan yang terbaik untuk mendukungnya, bukan?”
“Ya. Tentu itu, Bu.” Umar mengangguk yakin.
Senyum di bibir Bu Linda makin melebar. “Depresi juga seperti itu, Pak. Membutuhkan perawatan medis yang tepat, tetapi di bidang kesehatan mental. Dengan dukungan dan pemahaman penuh dari keluarga, Bapak bisa membantu kesembuhan Arum. Ini bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang cara otak berfungsi.”
“Bagaimana caranya?”
Leila menoleh terkejut mendengar pertanyaan bapaknya. Pertanyaan itu seolah mengisyaratkan bahwa bapak sudah mulai terbuka dengan permasalahan mental. Di sebelah kanannya, ibu juga menggenggam tangannya erat—merasa lega.
“Untuk mendukung Arum, kita perlu melihat dan mendengarkan apa yang dia rasakan. Saya mengusulkan untuk mulai terbuka dan mengajak Arum berbicara dengan pelan. Arum cenderung merasa tertekan saat mendengar suara tinggi, jadi diusahakan untuk memperlakukan Arum dengan lebih tenang. Selain itu, keluarga juga perlu mempelajari lebih baik tentang kesehatan mental. Bagaimana menurut Anda?”
Terdapat hening yang cukup lama karena Umar tak kunjung menjawab. Leila sampai menyikut lengan bapaknya karena semua orang sedang menunggu.
“Saya bersedia mencoba jika itu bisa membantu Arum, tapi saya masih ragu.”
“Itu adalah langkah awal yang baik. Kita akan melanjutkan diskusi dan memantau kemajuan Arum dan memastikan bahwa Anda merasa lebih nyaman dan memahami peran Anda dalam proses ini.”
Kemudian, Bu Linda menunjukkan beberapa catatan tentang kondisi Arum beserta keluh kesahnya yang menyangkut orang tua. Leila tak tahan untuk menekan kembali air matanya saat membaca, “Aku selalu dimarahi dan dibilang anak gagal kalau nilainya tidak 90. Kenapa aku bodoh? Tapi kenapa temenku dapet hadiah dari orang tuanya padahal nilainya cuma 80?”
Perasaan Arum dalam catatan itu hanya dipenuhi dengan kebingungan dan penghakiman pada dirinya sendiri. Tisu yang tersedia di meja bahkan sisa setengah karena Leila dan Nunuk terus terisak membaca tulisan Arum.