Kelam(in)

Alfian N. Budiarto
Chapter #1

Bab 1

15 Mei 1998 10.27 WIB

Nekat! Itulah yang orang-orang teriakkan pada seorang lelaki paruh baya yang kini tengah berlari menembus kerumunan. Namun, tiada yang sanggup mengalahkan rasa rindu dan kecemasannya sebagai seorang bapak, meskipun mungkin sebentar lagi itu akan membuatnya tunduk pada asap yang membumbung tinggi, yang membuat langit tak pernah lagi terlihat damai, dan teriakan-teriakan menggema di seluruh jalanan ibukota.

“Jangan ke sana!”

Lagi-lagi orang berteriak, tapi lelaki paruh baya tadi tetap nekat bergerak. Ia benar-benar tidak peduli karena langkah kakinya sudah terlalu jauh, dan ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Sementara itu, sirene ambulans yang beradu dengan bunyi mobil pemadam kebakaran terus menggaung di antara sekawanan mahasiswa yang berdemo, barigadir polisi yang kewalahan, serta orang-orang yang mengaku sebagai warga pribumi. Dan, lelaki paruh baya tadi kini terjebak di tengah-tengah mereka, berdiri dengan mata mengerling mencari gedung yang menjadi alasan ia di sini.

Sisi kiri ataupun kanan terlalu membingungkan bagi bapak tua tadi. Sampai detik ini, matanya belum mampu menangkap gedung yang ia cari. Padahal, ini lokasi terdekat berdasarkan informasi yang ia dapatkan semalam. Sedang jalanan yang mulai terik itu semakin bertambah kacau. Orang-orang kian beringas membakar motor dan mobil, juga gedung-gedung pertokoan. Hal itu sempat membuatnya ragu dan gentar, tapi setelah memutar kepalanya beberapa derajat yang ia lihat tepat di hadapannya kini mampu meningkatkan nyalinya lagi.

Bapak tua kembali menerobos keberingasan orang-orang. Sampai segerombolan polisi mengambil tindakan. Mereka menembakkan gas air mata yang membuat orang-orang berlarian tak beraturan. Bapak tua itu mencoba menghindari bahu-bahu yang kemungkinan akan membuatnya terjatuh, tapi gagal. Sebuah benturan yang cukup keras dari seseorang membuatnya tak sanggup lagi bertahan. Ia tumbang dalam kerumunan. Tubuh ringkihnya teronggok dalam pemberontakan.

***

11 Mei 1998

Sudah siang. Abah Deden gagal membawa Mak Esih pulang. Matahari sudah tepat di atas kepala, tapi Mak Esih masih menongkrongi telepon kabel milik Ceu Pinah, tetangga yang jaraknya hanya lima rumah dari rumah mereka. Padahal, perempuan setengah abad lebih itu telah pergi ke sana semenjak pagi.

“Semua ada di bawah tudung saji. Kalau kau lapar, makanlah. Aku mau ke warung Ceu Pinah.” Begitu kalimat yang Mak Esih keluarkan sebelum berangkat dengan daster yang ketiaknya agak robek. Abah Deden pikir Mak Esih tak akan lama di rumah Ceu Pinah. Dikiranya hanya beberapa menit, setelah itu Mak Esih pasti sudah pulang dengan garam atau gula. Namun, Abah Deden salah. Sampai makanan yang ia santap telah habis, sampai kopi yang ia seduh telah tandas, sampai ayam-ayam telah ia berikan pakan, Mak Esih belum balik juga.

Abah Deden mencoba paham. Ini sudah dua minggu Ceu Pinah belum meneriaki Abah Deden dan Mak Esih kalau Asep, anak semata wayang mereka yang bekerja di ibukota, menelepon. Padahal, dua kali seminggu, atau paling minimal sekali seminggu, mereka pasti mendengar suara serak putranya itu melalui sambungan telepon kabel milik sang tetangga. Memang, Mak Esih telah berpesan pada Asep apabila ia di ibukota, paling tidak berkabarlah setiap minggu sebab Mak Esih menyimpan banyak kecemasan dalam kepalanya. Tapi setelah mendengar suara Asep meski beberapa menit, hilanglah semua kecemasan itu.

“Maafkan Asep, Mak, uang bulan ini tak banyak Asep kirimkan.”

“Enggak masalah, Sep. Dengar suara kamu saja Emak sudah syukur. Kamu baik-baik di sana. Jangan sampai salah pergaulan.”

Asep memang anak yang baik. Menantikannya selama sepuluh tahun hingga akhirnya hinggap di rahim Mak Esih bukan perkara yang sia-sia. Abah Deden dan Mak Esih begitu bersyukur pada Tuhan dikaruniai anak yang berbakti. Telinga Asep diciptakan amat lebar demi mendengar petuah-petuah yang Abah Deden dan Mak Esih sampaikan bergantian. Tidak pernah Asep ber-'ah' kalau pasangan paruh baya itu memintanya melakukan sesuatu.

Sebenarnya, Mak Esih pernah ragu mengizinkan Asep ke ibukota, tapi ia kembali berpasrah pada Tuhan bahwa anak adalah titipan dan ia tidak berhak memangkas rezeki Asep. Dengan restu Abah Deden pula, Asep pun merantau. Dan, Mak Esih benar-benar bersyukur meski sudah tujuh tahun Asep di ibukota, pemuda itu tak pernah lupa mengirimkan mereka kabar: entah melalui surat ataupun menelepon langsung lewat telepon rumah Ceu Pinah.

“Kalau belum mau pulang, paling tidak makan dulu. Aku tahu tadi pagi kau cuma makan sedikit sebelum ke sini,” kata Abah Deden mengingatkan istrinya.

Mak Esih hanya menoleh sebentar ke arah Abah Deden. Setelah itu, matanya kembali terkunci pada telepon rumah tetangganya itu.

Lihat selengkapnya