13 Mei 1998 01:05 WIB
Berat. Itulah yang barangkali Abah Deden rasakan saat ini. Meninggalkan wanita yang telah tidur bersamanya berpuluh-puluh tahun sendirian di rumah. Abah Deden masih ingat selama mereka bersama, tak sekali pun Abah Deden pergi jauh tanpa Mak Esih. Abah Deden seolah memiliki magnet yang besar dalam tubuhnya yang mampu menarik Mak Esih ke mana pun ia pergi. Namun, situasi sekarang berbeda. Jakarta sedang memberontak dan Mak Esih tak sepenuhnya kuat. Membawanya sama saja dengan mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhir. Meninggalkannya pun tiada berbeda, tapi Abah Deden seperti makan buah simalakama. Serba salah.
“Kau enggak apa-apa, kan, aku tinggal sendirian di rumah?”
“Mangka na abdi ngiring wae, Bah.” Mak Esih masih berharap dirinya boleh ikut ke Jakarta.
Abah Deden menggeleng lemah, mendesah napas berat. “Kau baik-baik aja di rumah, Mak. Aku janji akan rutin menelepon ke rumah Ceu Pinah. Kalau perlu, setiap hari.”
Mak Esih tersenyum. Senyum yang entah mengapa lebih manis dibandingkan senyum yang selalu ia tunjukkan pada Abah Deden. Senyum yang bertambah lebar di wajah Mak Esih yang semakin semringah. “Kau tak perlu melakukan itu, Bah. Aku hanya ingin kau sehat-sehat di sana, dan pulang bersama anak kita.”
“Jangan ke mana-mana sebelum aku pulang!”
Air mata Abah Deden menetes dari muasalnya. Ia mungkin tak gampang menangis, tapi dini hari itu sepertinya tak lengkap jika ia tidak pergi sambil menangis. Abah Deden memeluk Mak Esih hangat. Pelukan yang teramat erat seolah tidak ada lagi pelukan-pelukan setelahnya. Mak Esih kemudian melepas Abah Deden pergi dengan mobil bak milik seorang tetangga dari kampung yang kebetulan akan ke Jakarta mengantar sayur-sayuran. Mobil bak itu mulai menembus malam. Dari kaca spion, mata Abah Deden tak pernah lepas pada tubuh kurus Mak Esih yang berdiri di depan rumah mereka, sampai jalanan perlahan menelan sosoknya.
Abah Deden akhirnya pergi dengan hati yang berat. Ia memang berjanji pada Mak Esih tak akan pergi terlalu lama, tapi ia sendiri sebenarnya tidak yakin dengan ucapannya. Ia mengatakan itu agar Mak Esih tak perlu menyimpan banyak kecemasan lagi dalam kepalanya, begitu pula dengannya.
***
“Asep ku naon, Bah?” tanya Ujang, sang empunya mobil bak yang ditumpangi Abah Deden. Ujang memang sering bolak-balik Jakarta mengantar sayur-sayuran hasil perkebunan di kampung. Abah Deden juga biasa menitipkan sayurannya, tepatnya sawi dan bayam yang Abah Deden tanam banyak di belakang rumah, pada Ujang untuk dijual di sana. Hasilnya kadang lebih baik dibanding dijual di pasar kampung.
“Atos dua minggu henteu berkabar, Nak. Abah jadi khawatir. Makanya, Abah mau nyusul,” jawab Abah Deden berterus terang.
“Jakarta memang lagi agak genting, Bah. Tapi, saya mah enggak pernah khawatir kalau soal Asep. Dia mah dari dulu kuat. Dia pasti bisa jaga diri. Mungkin lagi sibuk makanya enggak sempat berkabar.”
Abah Deden tersenyum menanggapi cerita Ujang. Asep dan Ujang memang berteman dekat di kampung. Dulu, ketika masa sekolah, kalau Asep hilang dalam pandangan, berarti ia sedang bersama Ujang. Main layangan di lapangan atau berenang di sungai.
“Abah jadi ingat waktu kalian main di kali. Abah hampir jantungan lihat Asep loncat dari pohon.”
Ujang tertawa. “Itu Asep sendiri yang mau, Bah. Abdi teh mana berani. Sudah saya bilangin juga ke Asep, nanti dahannya ambruk. Eh, masih nekat aja naik. Tapi, Abah baik banget. Asep enggak dimarahin. Kalau emak saya yang tahu, disabet rotan kali saya, Bah.”
“Emaknya Asep oge kitu.”
“Asep kena marah Mak Esih, Bah?”
“Enggak. Soalnya dia enggak tahu. Kalau sampai tahu, ya, bukan disabet lagi. Mungkin dipentung pakai kayu beduk.”