13 Mei 1998 08:11 WIB.
Abah Deden memupuk harapan yang besar pada kota yang semrawut itu. Jalanan lengan, tapi mencekam. Gedung-gedung menjulang, tapi mengantar kemarahan. Abah Deden sempat patah arang setelah mendengar berita kematian empat mahasiswa yang mati tertembak di kampusnya, tapi ia tak mungkin pulang dan menginkari janji pada Mak Esih.
Berbekal alamat indekos Asep yang ditulis tangan Ujang, Abah Deden segera bergeser ke sana. Ujang bilang mereka bersua sekitar enam bulan lalu. Barangkali Asep belum berpindah. Kalau pun iya, mustahil Asep benar-benar tidak berkabar pada Abah Deden dan Mak Esih sementara tergores pisau saja Asep cerita. Abah Deden berangkat dengan seorang tukang ojek setelah bersusah payah mencari kendaraan yang mau membawanya. Tidak mudah memang menemukan kendaraan umum yang masih beroperasi di tengah kekacauan ini.
Tiba di sana, Abah Deden hanya mendapati seorang wanita usia empat puluhan yang mengatakan kalau pria bernama Asep sudah lama meninggalkan indekos itu. Seingatnya, tak ada lagi Asep lain yang pernah menempati indekos tersebut setelahnya.
“Apa Ibu tahu ke mana dia pindah?”
“Maaf, Pak. Saya enggak tau. Dia orang yang tertutup selama ngekos di sini, dan saya juga bukan orang yang mau tahu urusan orang lain.”
Tertutup? Mengapa itu membuat Abah Deden malah bingung? Asep yang ia kenal adalah sosok periang dengan sejuta cerita keluar dari mulut bangornya. Pulang main, ia cerita. Pulang sekolah, ia cerita. Pulang kampung, ia pun cerita. Asep tak pernah menutup mulutnya untuk cerita-cerita yang bersarang di kepalanya. Dengan kebingungan itu, Abah Deden menunjukkan foto Asep yang masih berseragam putih abu dengan latar pohon akasia untuk memastikan Asep yang dimaksud wanita itu adalah Asep yang Mak Esih telah lahirkan.
“Benar, itu dia,” kata wanita itu yakin. “Saya masih ingat betul dengannya. Dia sering pinjam uang, dan selalu lupa mengembalikan. Bapak orang tuanya?”
Abah Deden mengangguk lemah.
“Tolong kasih tau dia supaya balikin uang yang sudah dia pinjam. Enggak banyak. Tapi, hutang ya tetap hutang.”
“Saya minta maaf soal itu. Kalau saya punya uang lebih, akan saya lunasi utang anak saya itu.”
“Bapak kasih tahu dia aja. Toh, dia juga pasti masih simpan nomor telepon saya. Lagian, masa kerja di pabrik tapi enggak bisa bayar.”
“Ibu tahu pabrik tempat Asep kerja?”
Perempuan itu mencoba mengingat-ingat, sebelum kemudian ia menyebutkan nama sebuah pabrik yang katanya berjarak belasan kilometer ke arah Selatan. Abah Deden yang sempat kehilangan harapan di indekos tersebut, segera bergerak ke pabrik sesuai dengan alamat yang telah disampaikan wanita pemilik indekos tadi. Meskipun kecemasan yang ditambahi dengan kebingungan di dada makin menjalari perasaan Abah Deden.
Tidak pernah Abah Deden berpikir kalau Asep telah menjadi orang yang berbeda di kota. Asep yang ia kenal selalu bercerita padanya nyatanya telah menutupi banyak hal pula padanya. Wanita pemilik indekos tadi berkata kalau Asep telah pergi enam bulan lalu, dan sebulan lalu Abah Deden masih mendengar cerita-cerita Asep. Mengapa anak laki-lakinya itu tidak pernah memberitahu soal kepindahannya ke indekos yang baru? Abah Deden merasa dikhianati.
“Bagaimana kabarmu, Nak?” Abah Dedeh masih ingat dengan pertanyaannya sebulan lalu, yang kemudian dijawab kalau Asep baik-baik saja. “Bagaimana di sana?” Pertanyaan Abah Deden berikutnya. Asep bilang ia sedang melakukan suatu hal yang baru, dan akan lebih baik apabila ia menjelaskan hal baru itu saat ia di kampung. Walaupun setelah panggilan itu dimatikan, dan hari berganti semakin cepat, Asep tak pernah pulang kampung dan tak pernah menjelaskan hal baru itu. Sepanjang ingatan Abah Deden, Asep tak pernah sekali pun membahas indekos barunya, termasuk utang-utangnya.
Abah Deden tiba di pabrik yang dituju dan ia semakin merasa terkhianati dengan keyakinannya sendiri terhadap Asep yang seorang periang dan terbuka. Asep tak lagi bekerja di pabrik itu dan sudah berhenti beberapa bulan lalu, ujar satpam yang bertugas. Sakit dada Abah Deden saat mendengar fakta tersebut.
Mengapa Asep tak pernah cerita? Mengapa Jakarta yang kacau membuatnya ikut kacau?