15 Mei 1998 08:41
Abah Deden telah berdiri di tepi jalan selama hampir setengah jam. Ia sedang menunggu kendaraan yang barangkali bisa membawanya ke Glodok. Ia tak tahu di mana Glodok, tapi informasi yang ia terima Glodok bukan tempat yang dekat untuk berjalan kaki. Sebenarnya, Abah Deden boleh saja berjalan kaki karena baginya bertemu dengan anak semata wayang lebih dari cukup untuk menghilangkan rasa letihnya. Namun, berjalan tanpa arah sama saja dengan percobaan pembunuhan.
Baru semalam Abah Deden hampir menyerah mencari keberadaan Asep, yang lebih seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Apalagi, ia sudah meninggalkan Mak Esih selama tiga hari dengan kecemasan yang tentu saja akan lebih besar dibanding kemarin-kemarin. Abah Deden takut tekanan darah Mak Esih melampaui batas, gula darahnya meroket, dan lebih buruk, rematiknya melumpuhkan tulang-tulangnya. Beruntung, seorang pria yang ia temui di warung memberikan informasi penting tentang Asep.
Tengah malam tadi, meninggalkan rumah bedeng—tempat Abah Deden tinggal selama di Jakarta—untuk keluar mencari angin juga pengisi perut, Abah Deden memasuki sebuah warung kopi satu-satunya yang masih buka. Abah Deden bukan penikmat kopi, tapi malam itu perutnya ingin merasakan sensasi kafein yang akan membuat kantuknya hilang. Ia juga memesan singkong rebus untuk mengobati rindunya pada Mak Esih. Meski setelah menikmatinya, rindu Abah Deden pada Mak Esih tetap meradang.
Usai menandaskan kopi dan singkong rebusnya, Abah Deden hendak bertolak. Namun, ia mencoba peruntungannya kembali dengan menanyai seorang pria yang juga menjadi pelanggan warung kopi tentang keberadaan Asep dengan menunjukkan foto Asep yang berseragam putih abu berlatar pohon akasia, seperti yang ia lakukan selama di Jakarta, dan selalu mendapatkan jawaban yang sama. Tidak tahu. Tidak kenal. Pria berkacamata itu tampak berpikir sejenak sembari memperhatikan foto Asep lebih dekat.
“Enggak tahu, ya, Mas?” Abah Deden menghela napas berat.
“Sepertinya saya pernah lihat.”
Kalimat pria itu melebarkan kelopak mata Abah Deden yang sempat redup.
“Kalau enggak salah, dia sering makan di satu rumah makan di Glodok. Dia juga sering bareng perempuan. Saya tahu karena saya juga kerja di sekitar situ sebelum akhirnya berhenti karena belakangan di sana sering terjadi kerusuhan.”
“Rumah makan?”
“Iya, Rumah Makan Cina.” Pria itu diam sejenak sebelum kembali melanjutkan. “Saya enggak yakin rumah makan itu masih ada atau enggak.”
“Maksud kamu?” Abah Deden bingung.
“Bapak enggak lihat berita di tivi?”
Abah Deden menggeleng. Tentu tak televisi di rumah bedeng yang ia sewa dengan harga miring itu. Abah Deden sebatas tahu kalau banyak orang yang turun ke jalan untuk meneriakkan aspirasi mereka.
“Jakarta makin kacau,” kata pria itu lagi. “Banyak kendaraan dan gedung yang dibakar. Apalagi gedung-gedung milik orang Cina. Makanya, saya enggak yakin kalau warung makan Cina itu masih selamat dari pembakaran.”
“Kira-kira jauh enggak dari sini?”