Kelam(in)

Alfian N. Budiarto
Chapter #5

Bab 5

13 Mei 1998 01.13 WIB.

Gelisah. Itulah yang dirasakan Mak Esih beberapa detik setelah mobil yang ditumpangi Abah Deden bersama Ujang menghilang di tengah kegelapan. Wanita tua itu tidak bisa memejamkan matanya sesaat pun. Ia lebih memilih merasakan kulitnya menggigil sehabis berwudu untuk menjalani salat malamnya. Entah kenapa hawa dingin menjadi berkali lipat dari biasanya, padahal tidak hanya sekali dua kali Mak Esih bangun malam untuk tahajud, seolah kepergian suaminya sangat mempengaruhi sampai kehangatan yang sebelumnya menyelimuti, kini lenyap ke arah Jakarta. Dalam sujudnya yang khusyuk, Mak Esih berbicara pada Yang Maha Kuasa. Ia meminta perlindungan untuk suami dan anak laki-laki satunya. Ia sangat berharap jika keduanya bisa kembali pulang ke kampung dengan sehat. Satu demi satu tetes air bening membasahi sajadahnya. Mak Esih luruh dengan doa-doanya.

Duduk di sajadah yang lusuh, Mak Esih lalu memejamkan matanya begitu kuat. Memori di kepalanya sedang berputar ke beberapa waktu silam. Siang itu, Mak Esih dan Abah Deden yang sedang menyebar benih padi mulai khawatir lantaran Asep tak kunjung kembali. Sebelumnya Asep berpamitan ingin ke sungai dekat air terjun sebentar bersama Ujang dan beberapa kawan lainnya. Namun, sampai sepasang suami istri itu sudah hampir selesai dengan pekerjaannya di sawah, Asep tidak menampakkan batang hidungnya. Ketika Mak Esih sudah bersiap menyusul, Abah Deden memaksa agar istri tercintanya itu beristirahat saja di gubuk dekat sawah. Biar Abah Deden yang menyusul Asep.

Tanpa Abah Deden tahu, Mak Esih mengikutinya ke sungai. Ia sama sekali tidak bisa berdiam diri menunggu saat dadanya hampir meledak karena khawatir. Sampai di sana, bertepatan Abah Deden menginjakkan kakinya di batu besar pinggir sungai, Asep lompat dari dahan pohon ke sungai. Mak Esih melihat pemandangan mendebarkan itu. Namun, baru saja Mak Esih akan menyusul, ia menghentikan langkahnya saat mendengar ucapan Abah Deden.

“Aduh, Asep! Kenapa loncat-loncat di sungai begini? Bahaya, Sep! Nanti kalau emak tau, bisa habis kamu, Sep!” 

Sebenarnya, tidak ada yang aneh dengan kalimat Abah Deden. Hanya saja, Mak Esih lebih memilih untuk berpura-pura tidak melihat atau mendengar kejadian di sungai kala itu. Ia memutuskan balik badan dan kembali lebih dulu ke sawah. Meski rasanya Mak Esih ingin mengomeli Asep habis-habisan, dalam hati kecilnya ia merasa lega. Yang terpenting, Asep baik-baik saja. Keselamatannyalah yang utama. Saat Asep masih memiliki tubuh yang utuh dan sehat, Mak Esih sangat bersyukur.

Bukan hanya kisah di sungai saja yang membuat jantung Mak Esih hampir tidak berdetak. Pada waktu yang lain, tidak lama setelah matahari terbenam, lagi-lagi Asep terlambat pulang. Yang biasanya Asep sudah berada di dalam kamar mandi beberapa menit sebelum azan Magrib berkumandang, saat itu ia masih berkeliaran entah di mana. Mak Esih menjadi sangat geram, seolah ada dua tanduk di sisi kepalanya yang menegang. Sepanjang kakinya melangkah menuju pencarian Asep, dalam hati Mak Esih sudah mengikrar janji bermacam-macam, entah menyabet bokong Asep dengan sapu lidi di genggamannya, menjewer ujung telinga Asep, atau malah mengunci Asep di kamar selama seminggu. Dan nyatanya, tidak ada yang dilakoni Mak Esih selain mengoceh sepanjang jalanan kereta. Sebab, bagaimana mungkin Mak Esih menyakiti putra tunggal kesayangannya. Seorang anak yang hampir tidak bisa ia dapatkan bersama Abah Deden. Seorang anak yang kehadirannya muncul di ujung keputusasaan.

Mak Esih hanya terlalu takut kehilangan Asep. Puncak amarahnya sering terjadi acap kali ia tidak melihat wajah Asep terlalu lama. Sama halnya saat Asep berkeinginan kuat ke Jakarta, Mak Esih butuh banyak waktu memberikan restu. Itu terjadi karena banyak hal yang wanita tua itu takuti. Kalau bukan Abah Deden yang menyadari jika anak adalah titipan Tuhan, mungkin sampai detik ini, Mak Esih masih bisa menyentuh pucuk kepala Asep, seperti yang sering ia lakukan ketika anak laki-lakinya itu terlelap. Sekarang, Mak Esih mulai sedikit menyesali keputusannya karena membiarkan Asep seorang diri ke ibukota. Akankah ada hal buruk yang menimpa anak itu atau semua ini hanyalah prasangka belaka? Hati Mak Esih benar-benar kalut sejak dua minggu lalu.

***

Lihat selengkapnya