Kelam(in)

Alfian N. Budiarto
Chapter #6

Bab 6

13 Mei 1998 08.35 WIB.

Sedikit pedas, menyegarkan, dan hangat. Ketiga aroma tidak asing itulah yang akhirnya membuat Mak Esih tersadar. Perlahan ia membuka kedua matanya yang masih memiliki gradasi kabur di sana. Pandangannya buram. Kepala Mak Esih juga masih terasa berat seolah ada tumpukan batu bata tak kasat mata di atasnya. Pening.

“Pelan-pelan, Mak,” ujar Ceu Pinah seraya membantu Mak Esih duduk di sofa kayu yang sudah reot itu. Berterimakasihlah Mak Esih pada Ceu Pinah yang menyusulnya lantaran ingin memberikan sekantung plastik tempe goreng hangat buatannya. Sebab tidak akan ada yang tahu kalau Mak Esih pingsan di dalam rumahnya jika Ceu Pinah tidak datang.

“Ceu Pinah, tiasa aya di dieu?” Suara Mak Esih terdengar serak dan lemah.

Abdi teh yakin Mak Esih belum masak dan sarapan. Makanya tadi saya bawain sedikit makanan buat ganjal perut. Eh, pas sampai depan pintu yang terbuka, saya lihat Emak udah pingsan,” ceritanya panjang lebar.

“Hatur nuhun, Ceu. Abdi ngarepotin terus.”

“Enggak sama sekali, Mak. Yang namanya tetangga emang harus begitu. Saling tolong menolong. Sebelumnya saya juga sering dibantu sama Abah dan Emak. Oiya, sama Asep juga.”

Selama ini, Ceu Pinah adalah seorang janda dari seorang lelaki PNS yang telah lebih dulu menghadap Tuhan beberapa tahun yang lalu. Ceu Pinah tak pernah hidup berkekurangan karena sang suami meninggalkannya sejumlah warisan, tapi rongga dada Ceu Pinah selalu kosong karena sang suami pergi tanpa buah hati yang bisa menemani kesendirian Ceu Pinah. Beruntung, Ceu Pinah memiliki orang-orang baik dalam hidupnya. Ada Abah Deden dan Mak Esih yang selalu menganggapnya seperti keluarga. Dulu, saat lelakinya perjalanan dinas ke luar pulau, Ceu Pinah yang tak bisa ikut selalu ditemani Abah Deden dan Mak Esih, juga Asep dan Ujang yang selalu membanyol. Warung satu-satunya di kampung milik Ceu Pinah juga menjadi ramai karena mereka.

“Kita berobat ya, Mak? Biar saya yang antar ke Pak Mantri,” ajak Ceu Pinah.

“Moal, Ceu. Aku cuma pusing sedikit. Minum teh sama makan juga nanti udah mendingan. Ceu Pinah juga harus jaga warung, kan?” Mak Esih sudah bisa duduk sendiri dengan menyandarkan punggungnya di sofa. Hanya saja ibu jari dan telunjuknya yang sejak tadi masih terus memijat-mijat kecil keningnya.

“Warung bisa saya tutup, Mak. Yang penting Emak berobat dulu.” Ceu Pinah masih berupaya membujuk.

“Enggak usahlah, Ceu. Saya udah enggak apa-apa, kok.” Dan Mak Esih lebih keras kepala. Pada akhirnya Mak Esih yang menang.

***

1991.

Lihat selengkapnya