Kelam(in)

Alfian N. Budiarto
Chapter #7

Bab 7

14 Mei 1998 07.10 WIB.

Sejak menyaksikan runtutan berita mengenai kericuhan di Jakarta, hati dan pikiran Mak Esih tidak pernah tenang sedetik pun. Benaknya selalu tentang Abah Deden dan Asep. Di setiap sudut rumah sederhana yang Mak Esih pijaki, kenangan Abah Deden dan Asep senantiasa mengikuti. Di dapur, misalnya, di sana Mak Esih biasa melihat Abah Deden membawa potongan kayu dari belakang rumah, yang kemudian Mak Esih gunakan untuk memasak melalui tungku. Ada pula Asep yang setia mengipas si jago merah sampai Mak Esih mendapatkan panas yang sesuai. Atau di sisi lain, ada meja makan persegi yang Abah Deden rakit sendiri menggunakan potongan kayu jati dari hutan belakang sawah milik mereka. Setiap kali Mak Esih melihat meja makan itu, ingatannya kembali bergulir jauh. Seperti sekarang, ia di sana, duduk dengan tangan melipat di atas meja. Ia seolah melihat Abah Deden dan Asep kembali duduk bersama. Abah Deden yang tersenyum menunggu Mak Esih menyendokkan nasi ke setiap piring, atau Asep yang memperlihatkan wajah semringah ketika tahu goreng buatan Mak Esih masih mengepulkan asap panas di atasnya. Mengingat itu semua, bibir Mak Esih sedikit melengkung ke atas seraya satu bulir bening jatuh ke pipinya. Ia sangat merindukan kenangan manis, sederhana, dan indah itu.

Mak Esih sudah amat lelah. Sejak keberangkatan Abah Deden demi menyusul sang anak, ia tak pernah lagi merasakan tidur yang lelap. Matanya sudah berusaha, tapi berkali-kali ia gagal. Bakda isya sampai pukul sepuluh, Mak Esih terus melafalkan ayat Al-Quran demi menenangkan hatinya yang kalut. Di tengah mengaji itu, ia sempat jatuh tertidur. Sayangnya, lagi-lagi ia terbangun tengah malam. Mak Esih menarik-buang napas berkali-kali. Ia juga mengambil segelas air minum yang diletakkan di meja samping ranjang, dan menenggaknya tiga kali. Setelahnya, Mak Esih mencoba tidur lagi, tapi saat matanya menangkap jarum jam yang ternyata sudah pukul dua dini hari, ia memutuskan bangkit lalu menuju sumur di sebelah dapur untuk berwudu. Sekiranya Mak Esih bisa mendamaikan hati dengan bersimpuh dan memohon pada Yang Maha Kuasa. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain meminta perlindungan atas suami dan anak laki-lakinya. Tanpa henti Mak Esih memanjatkan doa sampai jarum jam tahu-tahu sudah berpindah ke angka empat.

Mak Esih kembali ke ranjang. Ia membaringkan badannya, lantas pandangannya mengitari semua sisi kamar sempit itu. Ia benar-benar merasa seorang diri, kesepian, dan penuh rindu. Satu kenangan lainnya kembali menyambar ingatan Mak Esih. Malam itu, Mak Esih terbaring lemah di ranjang tempat ia mencoba tidur sekarang. Seingatnya, ia cuma batuk beberapa kali dan mengeluh hidung tersumbat pada Abah Deden. Namun, Abah Deden dan Asep langsung kalang kabut membuatkan teh tawar hangat dan membeli obat di warung Ceu Pinah. Padahal, setiap menjelang Magrib, warung Ceu Pinah tutup selama tiga puluh menit dan tidak bisa diganggu gugat sampai selepas salat. Saking khawatir dan tidak ingin emak tercinta menunggu terlalu lama, Asep sampai menggedor-gedor pintu Ceu Pinah beberapa kali.

“Besok pagi-pagi aku antar kau berobat, ya?” ujar Abah Deden khawatir.

“Enggak usah, Bah. Aku enggak apa-apa, kok. Nanti habis minum obat dari Asep nanti batukku juga bakal hilang,” jawab Mak Esih dengan wajah yang tampak baik-baik saja. Tidak ada raut yang menandakan kelemahan atau kelesuan berlebih di sana. Hanya ada pucat sedikit saja di bibirnya. Dibanding rasa sakit, Mak Esih justru sangat gembira lantaran sikap suami dan anaknya itu. Ia merasa amat dicintai. Padahal, jika ia akan menimba air di sumur sebanyak tujuh kali, Mak Esih masih sanggup melakukannya. Namun, dua laki-laki itu malah bersikap hiperbola dengan menjadikannya bak pasien sekarat di rumah sakit.

Mak! Asep pulang bawa obatnya!” Teriakan Asep terdengar dengan jelas hingga ke telinga Mak Esih yang sedang berada dalam kamar, meski saat itu Asep masih beberapa langkah menuju depan rumah. Abah Deden pun sangat tahu kalau anak itu pasti mengambil langkah seribu dari warung Ceu Pinah untuk cepat sampai ke rumah. Memang sebegitu sayangnya Asep dengan orang tua.

“Pasti kamu ganggu itu Ceu Pinah lagi salat ya, Sep?” tanya Mak Esih memastikan.

“Enggak apa-apa, Mak. Ceu Pinah juga udah maklum sama Asep,” jawab sang empunya dengan santai. Asep menyodorkan obat di tangannya ke Abah Deden. Setelah dibuka, Abah Deden langsung membantu sang istri duduk dan menyuapinya obat, tidak lupa air hangat yang sudah sejak tadi bertengger di sebelahnya.

Lihat selengkapnya