14 Mei 1998 11.08 WIB.
Kelam. Hidup Mak Esih sudah berubah gelap gulita. Dunianya sedang tidak baik-baik saja. Ia merasa jika Tuhan sedang menghukumnya, entah atas dosa mana yang pernah ia lakukan. Bertahun-tahun sebelumnya, Mak Esih selalu berandai-andai bisa menghabiskan masa tua dengan penuh kebahagiaan. Melihat suami yang terus berada di sisinya sampai penghujung usia. Lalu seorang putra yang akan tumbuh menjadi pria baik, mapan, dan memiliki keluarga yang harmonis. Setelah semua itu tercapai, Mak Esih pasti akan tenang jika harus meninggalkan hidupnya yang fana ini. Namun, sekarang malah sebaliknya. Wanita yang tengah terbaring lemah di ranjangnya itu harus menanggung kepahitan hidup.
Mak Esih terisak tanpa suara. Pandangannya menatap langit-langit kamar tanpa plafon dengan celah kecil yang menyebabkan setitik cahaya dari luar menembus masuk. Ia benar-benar tidak berdaya melakukan sesuatu. Dalam hatinya, Mak Esih tidak berhenti berzikir seraya berdoa untuk dua laki-laki dalam hidupnya yang mungkin saja akan ditinggalkannya sebentar lagi.
“Mak ….” Ceu Pinah masuk menghampiri Mak Esih sambil membawa segelas teh hangat. "Atos enakan, Mak?”
Mak Esih buru-buru menghapus air mata yang tidak mau berhenti itu. Ia berusaha bangkit dari rebahannya, tapi entah kenapa tubuhnya terasa berat dari biasanya. Mak Esih membutuhkan bantuan Ceu Pinah untuk hal sekecil itu. Semakin membuat pikirannya dekat dengan kematian.
“Hatur nuhun, Ceu.” Suara Mak Esih serak dan lemas.
“Sami-sami, Mak. Abdi nuju buatkan bubur. Sebentar lagi matang. Nanti Emak makan, terus minum obat, ya?”
Mak Esih hanya mengangguk. Tidak ada lagi tenaga untuknya menolak semua kebaikan Ceu Pinah. Yang bisa dilakukannya cuma pasrah.
“Kalau saya boleh tau, di telepon tadi Abah Deden ngomong naon, Mak?”
Mak Esih membisu. Ia memutar lagi kejadian beberapa jam lalu, ketika mendapat telepon dari Abah Deden. Dua kali suaminya itu melapor, dua kali juga ia belum bisa bertatap muka dengan Asep. Wajar saja kalau perasaan Mak Esih langsung merosot lemas. Kemungkinan-kemungkinan yang Mak Esih sudah siapkan di kepalanya seolah meledek kalau semua itu akan secepatnya menjadi nyata. Mak Esih tidak siap dan tidak akan pernah siap.
Belum lagi beberapa pesan yang disampaikan Abah Deden tadi tidak seperti biasanya. Kalimatnya mungkin sama. Mengingatkan untuk makan, tidur yang cukup, dan menjaga kesehatan. Ketiga hal yang tidak pernah bosan Abah Deden titahkan pada Mak Esih. Hanya saja ada sesuatu yang berbeda, yang Mak Esih sendiri tidak bisa jelaskan secara pasti, atau lebih tepatnya Mak Esih hanya takut mengucapkan dengan hati dan lidahnya. Kalau pesan tersebut adalah pesan terakhir yang Abah berikan untuk Mak Esih. Pesan sebelum terjadinya sebuah tragedi yang kelam.