Kelam(in)

Alfian N. Budiarto
Chapter #9

Bab 9

Desember 1997.

Asep masih merenungi nasibnya yang semakin berantakan di ibukota. Di kamar indekosnya yang sempit, Asep hanya bisa berbaring dan memandangi awang-awang dengan tatapan kosong. Pikiran melayang ke mana-mana.

Asep menggeser tubuhnya beberapa senti ke arah kanan, lalu kembali mengenang apa-apa yang telah terjadi di hidupnya. Sudah hampir tujuh tahun ia mengadu nasib di ibukota, namun perekonomiannya tak benar-benar membaik. Lebih buruk malah. Padahal, dulu, sebelum berulang kali meyakinkan Emak dan Abah untuk memberinya restu buat merantau, Asep telah berjanji akan rutin mengirimi kedua orang tuanya itu uang. Asep mau Abah tak perlu capek-capek ke sawah. Pemuda itu juga ingin dapur emaknya tidak bocor lagi ketika hujan melanda, yang membuat lantai tanahnya menjadi becek dan berlumpur. Terlalu banyak ekspektasi di dalam kepala Asep, sebelum kemudian ia terpaksa dihantam oleh kenyataan yang tidak melulu berakhir indah: bahwa semua yang ia bayangkan di ibukota, tidaklah demikian adanya.

Dulu, Asep menganggap jika hanya dengan berbekal ijazah SMA saja, ia akan dengan mudah mendapatkan banyak peluang pekerjaan mentereng di Jakarta. Tapi, begitu diinjaknya kejam tanah ibukota itu, Asep baru tahu kalau persaingan untuk mendapatkan pekerjaan jauh lebih ketat dan rumit dari dugaannya. Ia mesti bersaingan dengan jutaan perantau lain dari beragam wilayah di nusantara. Meski demikian, Asep tidak mudah menyerah. Bukan Asep namanya kalau kemudian pasrah. Hingga setelah luntang-lantung berbulan-bulan, pada akhirnya ia mendapatkan pekerjaan sebagai buruh rendahan di sebuah pabrik konveksi dengan gaji yang juga pas-pasan. Namun, itu sudah cukup Asep syukuri.

“Mak, Asep sudah dapat kerja,” ujarnya pada Mak Esih melalui sambungan telepon umum ke rumah Ceu Pinah.

“Alhamdulillah.” Suara emaknya itu terdengar bahagia sekaligus terharu. “Betah kau di Jakarta, Sep?” Mak Esih mencoba menginterogasi. Ia masih berharap putranya itu tidak betah di ibukota dan memutuskan untuk pulang saja.

“Betah, Mak.”

Jawaban singkat Asep membuat Mak Esih menghela napas pasrah. Hilang sudah harapan perempuan kampung itu untuk kembali berkumpul bersama sang anak kesayangan.

“Kalau ada apa-apa, cerita sama Emak. Kalau hidup kau susah, pulang sajalah, Sep. Masih ada sawah Abah yang bisa kau garap,” pesan Mak Esih yang sejujurnya membuat dada Asep pedih.

Asep tahu hidupnya memang sedang tak baik-baik saja. Tapi, ia juga tidak ingin menunjukkan dirinya lemah di depan emak dan abahnya. Ia mampu, yakin Asep pada dirinya sendiri. Hingga ketika ia meletakkan gagang telepon, barulah Asep mencurahkan semua di dalam bilik wartel tempatnya bisa menelepon. Seperti kata pepatah, Asep selalu berbaik sangka pada semesta bahwa akan selalu ada gulali yang manis selepas pahitnya perjalanan hidup yang ia cecap.

Asep yang sedari tadi hanya menghabiskan waktunya dengan menatap kosong langit-langit kamar indekosnya, kini bangkit. Ia mesti mencari pekerjaan baru setelah bulan lalu pabrik tempatnya bekerja tiba-tiba saja melakukan pengurangan jumlah buruh secara besar-besaran. Krisis moneter, begitulah yang Asep dengar sebagai penyebabnya. Padahal ia sudah tidak punya tabungan sama sekali. Sebelum kabar rencana pemecatan besar-besaran itu tersebar, Asep sudah mengirimkan seluruh uang tabungannya ke kampung halaman: untuk memperbaiki dapur Emak yang nyaris ambruk, juga membeli sepetak sawah untuk Abah tanami padi dan palawija. Asep pikir gajinya masih ada di bulan depan, sehingga ia masih akan bisa hidup dari sana. Tapi, sekali lagi, kadang rencana memang tidak selalu sesuai harapan. Asep menjadi salah satu yang masuk ke dalam daftar panjang nama-nama buruh yang dipecat. Karena statusnya yang belum menjadi karyawan tetap, maka Asep diberhentikan tanpa pesangon. Dan seperti tujuh tahun yang lalu, pemuda itu kembali hidup luntang-lantung. Beruntung meski telah resmi menjadi pengangguran, Asep masih punya Tania, perempuan Tionghoa yang telah bertahun-tahun Asep jadikan sebagai tambatan hati.

Lihat selengkapnya