Selepas mengantar Tania ke halte bus, Asep pulang ke kamar indekosnya yang sempit. Asep tak sempat mandi. Ia hanya menyemprotkan minyak wangi sekenanya. Lantas, di depan cermin, Asep mulai mematut diri. Ia kembali menjalani malam-malam yang sejujurnya menyiksa batin dan perasaannya. Tak ia pedulikan bulir cairan bening yang tiba-tiba turun dari sudut matanya: membuat bedaknya luntur yang terpaksa dipoles ulang. Seperti ucapan Ujang, sahabatnya di kampung halaman dulu, Asep adalah sosok yang kuat. Maka tak sepatutnya ia menangis hanya karena dipaksa kerasnya kehidupan ibukota. Merantau adalah pilihannya sendiri, maka sekarang adalah konsekuensi yang memang harus ia terima serta jalani.
Sudah dua pekan Asep sengaja tak menghubungi emak ataupun abahnya di kampung. Asep takut tangisnya akan pecah di sambungan teleponnya dengan Emak Esih. Apalagi saat ini hidupnya sedang benar-benar terpuruk. Tak punya arah tujuan. Utang pemuda itu pun di mana-mana. Parahnya, bukan hanya pada satu orang rentenir, melainkan beberapa. Beruntung, Asep memakai identitas Anggun saat mencari pinjaman pada seorang mucikari. Hingga para rentenir itu hanya akan datang ke lokasi prostitusi dan menagih cicilan yang memang terbilang besar.
Asep ingat, cobaan kala itu datang secara bertubi-tubi. Abah Deden terkilir di sawah, hingga lelaki tua itu tidak bisa berjalan selama lebih dari satu bulan lamanya. Tak bisa pula lelaki tua itu menuai sendiri padi mereka yang sudah masuk masa panen. Akibatnya, Abah Deden butuh biaya untuk membayar buruh panen dan juga membayar tukang urut seminggu sekali. Tentu saja semua uang yang ia perlukan tadi berasal dari Asep. Bukan Abah yang meminta, namun sebagai anak yang berbakti, Asep merasa sudah menjadi kewajibannya untuk mencukupi kebutuhan orang tua.
Belum juga Abah Deden pulih, Emak Esih jatuh sakit. Malaria katanya, hingga perempuan itu harus dirawat tiga hari tiga malam di rumah sakit daerah yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Dari sanalah utang Asep itu berasal dan semakin membengkak karena bunga yang memang gila.
“Maafkan Emak sama Abah, ya, kalau selama ini cuma bisa nyusahin kau terus, Sep. Selalu jadi beban,” ucap Mak Esih saat suatu hari Asep kembali menghubumginya lewat sambungan telepon milik Ceu Pinah.
“Mak, jangan bicara begitu. Itu belum seberapa kalau dibandingkan sama pengorbanan Emak dan Abah selama ini. Bayangkan, kalau enggak ada Emak sama Abah, mau jadi apa Asep sekarang?”
Mak Esih terdiam. Begitu pula Asep. Sebab, sebenarnya pemuda itu malu mengatakan kalimatnya barusan. Saat ini ia bukanlah orang sukses yang bisa dibanggakan, bukan pula anak baik seperti ketika ia di kampung dulu. Asep sekarang hanyalah laki-laki kotor yang mencari penghidupan di balik nama 'Anggun'. Manusia yang dianggap orang-orang tidak jelas jenis kelaminnya. Perempuan jadi-jadian. Hingga masih banyak lagi ujaran miring ketika Asep berlindung di balik jati diri seorang Anggun dengan rambut panjang palsunya.
Sudah lebih dari satu jam Asep menunggu sang pelanggan, seorang laki-laki cukup berada yang beberapa bulan belakangan akan selalu datang hanya di malam akhir pekan di minggu kedua setiap bulannya. Di dalam keremangan itu, Anggun terus merapikan rambut palsunya yang berkali-kali diterbangkan embusan angin sembari memikirkan perihal dosa. Ia tak sanggup membayangkan bagaimana orang tuanya akan sedemikian sedih jika mengetahui pekerjaannya yang tak halal. Belum lagi jika kelak ia benar-benar menikah dengan Tania dan perempuan itu mengetahui latar belakangnya yang kotor dan busuk. Pasti akan ada hati yang tersakiti dengan apa yang ia tekuni saat ini.
Dulu, Asep pernah beranggapan bahwa sosok-sosok sepertinya adalah sampah. Pernah juga mengira kalau orang-orang itu memiliki hal yang salah pada dirinya. Tapi, prasangka itu lebur sudah ketika ia justru menjalaninya sendiri. Segala sesuatu memang akan selalu tampak berbeda jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda pula, begitu yang kemudian Asep yakini. Bahkan, di tempat ia menjajakan diri sekarang, Asep sempat mengenal Wati, seorang waria berusia kepala empat yang telah menekuni pekerjaan tersebut selama belasan tahun di ibukota. Warto, nama asli Wati, punya seorang istri dan empat orang anak di kampung halaman.