14 Mei 1998.
Empat hari sudah Asep tak bertemu Tania. Semenjak kejadian tertangkap basah tempo hari, perempuan Tionghoa itu tak pernah muncul lagi di depan restoran tempat Asep bekerja. Padahal di sanalah mereka biasa bersua sepulang Asep bekerja, lalu menghabiskan sisa senja dengan jalan-jalan atau sekadar makan bersama.
Di benak pemuda itu sekarang, bukan hanya perkara hubungannya dengan Tania yang telah kandas dan terus mengganggu pikiran. Justru ada hal yang jauh lebih buruk dari itu. Pasalnya, dua hari yang lalu, telah terjadi sebuah peristiwa yang amat mengerikan: empat orang mahasiswa sebuah kampus ternama di ibukota tewas tertembak ketika mereka sedang berusaha menyuarakan segala permasalahan yang saat ini terjadi. Akibat jatuhnya korban jiwa, hal itu nyatanya berhasil memancing kemarahan masyarakat. Asep melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana orang-orang mulai turun ke jalanan untuk mencari keadilan. Mereka juga menuntut ditegakkannya Hak Asasi Manusia, pun meminta agar tingginya harga barang pokok saat ini dikembalikan ke harga semula, serta menuntut presiden untuk lengser saja dari jabatannya akibat krisis moneter yang bergulir dan kian menyengsarakan. Demokrasi demi perubahan, begitu yang mereka gaungkan di seantero ibukota.
Dari sana, kerusuhan mulai pecah secara sporadis. Sialnya, tanpa Asep tahu penyebabnya, tiba-tiba saja sekelompok orang-orang yang anarkis itu malah mengkambinghitamkan orang-orang etnis Tionghoa sebagai pihak yang bersalah. Toko-toko mereka dengan seenaknya dijarah, bahkan tak jarang yang dibakar massa. Termasuk kompleks pertokoan di dekat lokasi rumah makan Cina tempat Asep dan Tania biasa menghabiskan waktu berdua.
Asep yang tentu saja khawatir dengan keselamatan Tania, segera menuju ke tempat tinggal perempuan Tionghoa itu. Ia tak peduli dengan statusnya yang bisa jadi saat ini bukan lagi kekasih perempuan tersebut. Asep hanya tidak ingin Tania kenapa-napa. Dengan mengendarai sepeda motor tua yang ia pinjam dari seorang tetangga kosnya, Asep memecah jalanan yang seketika mencekam. Demi keselamatannya, Asep sengaja mencari jalan yang sekiranya aman.
Begitu sampai di kompleks perumahan Tania, Asep menemukan kondisinya sudah begitu lengang. Pagar-pagar dan teralis besi terkunci rapat. Tidak ada orang-orang yang berlalu-lalang seperti biasa. Dulu, Asep pernah beberapa kali mengantar Tania pulang. Tapi, pemuda itu hanya berani mengantarnya sampai depan gang hanya agar papanya Tania tak memergoki mereka.
Di depan teras, Asep memanggil-manggil nama Tania berkali-kali. “Tan … Tania!”
Tak ada sahutan. Bahkan ketika Asep mencoba mengintip melalui jendela, semuanya tampak gelap, seolah-olah penghuninya tak ada di sana dan pintu rumah benar-benar dikunci rapat.
Sekali lagi Asep menggedor-gedor pintu, hasilnya tetap sama. Nihil. Hingga pemuda itu mulai putus asa. Ia pun menjambak rambutnya kesal dan memutar balik tubuhnya menuju motor yang terparkir di luar gerbang. Namun, baru juga beberapa langkah menapak, tiba-tiba terdengar suara pintu garasi yang dibuka dari dalam. Sontak hal itu membuat Asep menoleh.
Begitu mendapati Tania muncul dari sana, cepat-cepat Asep menghampiri dan memeluk tubuh perempuan yang dicintainya itu erat. “Tan, kau enggak apa-apa, kan?”
Tania menggeleng, meski sepasang matanya yang sedang menangis itu terlihat begitu sembap. “Aku takut, Sep. Takut sekali. Sudah banyak saudaraku yang jadi korban kerusuhan.”