Di depan cermin kamar indekosnya, Asep memandangi wajahnya yang babak belur. Ia pikir kemarin adalah hari terakhir baginya untuk bisa menghirup segarnya udara. Tapi, tampaknya Tuhan masih berbaik hati pada pemuda itu. Setelah kesadarannya lenyap, Asep terbangun ketika langit sudah mulai gelap. Entah berapa lama ia pingsan tadi, yang jelas begitu membuka mata, Asep langsung merasakan tubuhnya ngilu tidak terkira. Untunglah, setelah beberapa saat menelaah kondisinya, pemuda itu tidak menemukan luka parah selain lebam dan memar di wajah.
Satu yang Asep ingat di dalam ketidaksadarannya tadi. Ia sempat bermimpi mengenai Abah Deden dan juga Emak Esih. Di sana, keduanya seakan-akan meminta Asep untuk segera pulang. Karenanya, begitu bangun, sepasang mata Asep basah. Bukan hanya lantaran rasa sakit yang menjalari badan, tapi juga dadanya yang sesungguhnya teramat merindukan kedua orang tuanya di kampung halaman itu. Maka kini, setelah berhasil pulang ke kosnya dengan langkah tertatih-tatih, Asep segera mengemasi barang-barang sekenanya. Memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas ransel dan segera pergi meninggalkan kosnya itu.
Asep tidak tahu dengan apa ia harus pulang. Sebab, di situasi dan kondisi ibukota yang sedang memanas dan tidak kondusif seperti saat ini, di sekitarnya, tidak ada lagi kendaraan yang berani melintas. Hal itu tentu membuat Asep berjuang sebisanya berjalan kaki menjauhi pusat kerusuhan. Dengan demikian, Asep berharap ia bisa menemukan kendaraan yang mau memberikannya tumpangan untuk meninggalkan Jakarta. Seterusnya, jika perlu, ia akan berusaha berpindah dari satu tumpangan ke tumpangan yang lain untuk bisa sampai di kampung halaman dan bertemu Abah Deden dan Mak Esih.
Di tengah langkah kakinya yang terseok-seok itu, tiba-tiba Asep teringat pada pesan Mak Esih di awal dirinya memutuskan merantau dulu. “Kalau ada apa-apa, cerita sama Emak. Kalau hidup kau susah, pulang sajalah, Sep. Masih ada sawah Abah yang bisa kau garap.”
Mengingat kalimat itu, nyatanya masih saja memberikan sensasi pedih yang sama di dada Asep seperti kali pertama pemuda itu mendengar pesan sang ibu. Benar kata orang, hanya orang tua dan rumahlah tempat yang tepat buat kembali kala seorang anak jatuh dan terpuruk. Sebab, hanya orang tualah yang bisa menerima anaknya dalam kondisi apa pun: baik susah maupun merana. Dan kini, meski sesungguhnya Asep berusaha menahan malu lantaran telah merasa gagal menjadi anak yang semestinya bisa membanggakan Abah Deden dan Mak Esih, pemuda itu tetap memaksakan diri untuk pulang. Titik ini adalah titik terendah bagi Asep. Jangankan membawa pulang uang untuk orang tuanya, dompet yang berisikan tanda pengenal milik Asep saja sudah habis dirampas empat laki-laki berandal siang tadi. Asep benar-benar tidak punya apa-apa sekarang. Hanya tas berisikan pakaian di pundaknyalah yang kini menjadi barang paling berharga miliknya. Bahkan untuk memberi tahu rencana kepulangannya melalui telepon umum saja Asep tak punya biaya.
Sudah cukup jauh kaki Asep melangkah, hingga secara menakjubkan pemuda itu menemukan sebuah mobil pick up yang kebetulan melintas. Luar biasanya lagi, mobil yang membawa keluarga kecil—sepasang suami istri dengan dua orang anak yang masih balita—itu rupanya juga menuju ke arah yang akan melintasi kampungnya. Asep sungguh tak habis pikir amalan apa yang pernah ia perbuat hingga Tuhan sebegitu berbaik hati memberinya kemudahan. Maka, meski harus duduk di bak belakang dan berdesakan dengan barang-barang ungsian yang cukup banyak jumlahnya, Asep sudah lebih dari cukup untuk bisa bersyukur.
Lalu, di antara deru kendaraan yang terus melaju membelah jalanan itu, Asep hanya bisa mendongakkan kepalanya menatap langit yang gelap tanpa bintang. Barangkali saat ini semesta juga tengah berduka ketika tahu ibukota sedang tidak baik-baik saja, hingga ia saja enggan untuk bercahaya.