“Apa yang kau lakukan, Darma? Kau tidak bisa melakukan ini padaku!”
“Diam! Kau tak berhak melarangku, Hera!”
Aku menatap Ruby yang seolah tak peduli dengan pertengkaran mereka. Entah apa yang terjadi di dalam kamar ayah dan ibuku, yang kutahu suara lelaki itu meninggi di dalam sana. Jantungku kembali berdetak kencang, aku masih saja mencemaskan ibu, takut sesuatu yang buruk terjadi padanya.
“Darma, aku mohon padamu. Siapa wanita itu?”
Aku menepi, memilih untuk menyembunyikan tubuh kecilku di balik pintu saat terdengar langkah kaki melewati kamarku dan Ruby.
“Aku bosan, Hera. Tidak bisakah aku bersenang – senang?”
“Tapi aku istrimu, Darma! Kau memiliki Elsa dan Ruby!”
Terdengar suara itu mulai menjauh, diikuti dengan tangisan ibu yang begitu menyedihkan.
“Dasar tidak berguna,” gumam Ruby lirih membuat pandanganku beralih padanya. Sekilas aku melihat Ruby tersenyum, sesuatu yang tidak kusukai. Bagaimana bisa ia tersenyum sementara mereka bertengkar?
Aku melangkah ke luar, menghampiri ibu yang meratap di ruang tamu. Matanya sembab dan wajahnya menunjukkan lara yang dalam.
Wanita paruh baya itu menoleh saat menyadari kehadiranku, disekanya air mata yang jatuh di pipi, menatapku pilu.
“Elsa,” suara itu terdengar serak saat memanggilku. Dengan langkah kecil aku mendekat, memeluknya. Setidaknya hanya itu yang bisa kulakukan untuk membantunya tenang.
“Kenapa tidak berpisah saja!”
Aku melepaskan pelukan itu dan menoleh ke belakang di mana Ruby berdiri di sana dengan marah. Wajahnya berubah geram dan tatapan matanya begitu tajam ketika menatap ibu.
“Tidak semudah itu. Tidak bagi ibu,” jawab ibu yang membuatku tak mengerti. Aku pun pernah menanyakan hal yang sama, tetapi ibu tak pernah memberikan jawaban.
Ruby terdiam, mungkin dia lebih mengerti tentang kalimat itu atau justru memilih untuk tidak peduli lagi.
Ibu masih terisak, dan aku tak terlalu bodoh untuk memahami kalimat ibu tentang siapa wanita itu. Bukankah ini juga bukan untuk pertama kalinya ayah melakukan hal yang sama?