Mataku terbuka saat terdengar suara benda jatuh di luar sana, diikuti langkah kaki ibu yang terburu-buru ke arah sumber suara.
Aku menatap Ruby yang tertidur pulas, rasa lelah telah membawanya jauh ke alam tidur. Membangunkan dia pun aku tak tega. Perlahan aku melangkah ke ruang tamu, terlihat ibu sedang membuka pintu rumah kami.
Hari itu sekitar pukul 2 dini hari, dan aku melihat tubuh ayahku terhuyung begitu pintu rumah kami terbuka. Ya, laki-laki bertubuh kekar itu kembali dengan aroma alkohol yang menyenggat di tubuhnya.
“Air! Ambilkan air, sial!” ujarnya seraya mendorong tubuh ibu yang masih berada di muka pintu.
“Kau melakukan ini lagi, Darma,” ucap ibu yang menatap suaminya itu.
“Berisik! Mana air!” teriaknya, membuat jantungku kembali berdetak lebih kuat.
Ayah menjatuhkan tubuhnya di lantai ruang tamu, masih lengkap dengan kemeja lengan panjang serta sepatu. Pakaian yang selalu ia kenakan setiap kali menjalani “ritual” dengan minuman beralkoholnya itu. Entah di mana ia berada sepanjang malam dengan pakaian yang begitu rapi.
Ibu menatapku, yang sedari tadi hanya berdiri dan mematung. “Elsa, kau tidur saja.”
Aku tidak menjawab, dan memang tak ada yang bisa kulakukan di sini. Melihat keadaan ayah yang seperti itu jelas saja membuatku marah.
“Kenapa diam saja! Kau tidak dengar, heh?!” suara ayah kembali terdengar, sembari memukul-mukul lantai dengan tangannya.
“Bu, ayah minta air,” kataku yang kembali berbalik karena mendengar suara itu. Selalu begitu, ada rasa jengkel bercampur tak tega saat melihat kondisi ayah yang mabuk seperti ini.
“Biarkan saja, percuma ibu ambilkan.”
Ibu berjalan melewatiku, seolah tak peduli dengan ayah. Namun aku tahu, ibu masih terluka karena ini, atau mungkin sudah terbiasa dengan keadaan yang berulang?
...
“Jadi, apa yang terjadi semalam, Elsa?” Ruby bertanya padaku saat kami berjalan kaki menuju ke sekolah. Kebetulan sekolahku dan Ruby berdampingan.
“Tidak ada,” jawabku singkat.
“Aku mendengarnya, semalam dia terus berteriak seperti orang yang tidak waras.” Perkataan Ruby membuat langkahku terhenti, menatapnya sesaat.
“Kau tahu?” tanyaku.
Ruby mengangguk, “Aku tidak tuli, Elsa.”
Lagi-lagi aku menghela napas panjang, menaikkan ransel di bahuku dan kembali berjalan di belakang Ruby yang mendahului.
“Nanti kau pulang saja lebih dulu, jangan menungguku.”
Ruby bergegas masuk melewati gerbang sekolahnya tanpa menunggu jawabanku.
...