Wanita cantik itu menyambut kedatangan kami dengan senyum lebar, terlihat seperti tidak ada beban apapun di wajahnya.
“Kau sudah pulang, Sayang?” sambutnya sembari mengecup kening Neva lembut. Wanita itu lantas melihat ke arah kami, senyum masih teruntai di bibirnya yang cantik.
“Masuk-masuk, sudah lama kalian tidak main ke sini, kan? Elsa, apa kabar?”
Aku mengangguk, membalas senyum ramah wanita yang kupanggil Tante Rea itu. “Baik, Tan,” jawabku yang menutupi semua peristiwa itu.
Tante Rea menatapku dengan sendu, aku bisa menebak kalau Neva mungkin menceritakan kisahku kepada ibunya itu. Tapi biarlah, semua itu memang kenyataannya.
Tante Rea langsung membawa kami ke meja makan. Suasana yang selalu aku rindukan di rumah. Seandainya saja, aku dilahirkan di dalam keluarga ini, pasti sangat menyenangkan. Rasanya begitu tenang, Neva pasti tidak pernah mengalami detak jantung yang hebat karena dicekam rasa takut setiap malamnya. Ah, dia sangat beruntung.
“Makan, El, kok diam saja?” Neva tersenyum, membuyarkan lamunanku.
“Gimana sekolah kalian? Lancar, kan?” Pertanyaan seperti itu tidak pernah terucap dari mulut kedua orang tauku. Bisa dibilang mereka tidak pernah tahu berapa nilai yang aku peroleh setiap kali ujian sekolah. Aku tidak tahu, apakah mereka memang tidak peduli ataukah mereka sekedar melupakannya sejenak. Yang pasti ibu cukup sibuk mengurus ayahku dengan segala perilakunya itu.
“Lumayan, tapi nilaiku masih berada di bawah Elsa,” kata Neva tersenyum lebar.
“Oh, ya?” kata Tante Rea menatapku.
“Biasa saja, kok, Tan,” aku menjawab lirih membuat tatapan Tante Rea semakin dalam kepadaku.
“Elsa itu pintar, kemarin dia peringkat dua,” imbuh Angel, dan aku membalasnya dengan senyum kecil. Untuk apa peringkat kalau mereka saja tidak peduli kepadaku. Apakah mereka bangga dan mengatakan sesuatu yang membuatku senang? Nyatanya tidak.
“Wah, pasti kamu dapat hadiah dong, Elsa,” kata Tante Rea lagi.
Neva menyentuh lengan ibunya, seakan memberi isyarat. “Oh, ya, Tante lupa. Tante membeli sesuatu saat ke Surabaya kemarin. Sebentar Tante ambilkan, ya?” Tante Rea beranjak dan meninggalkan kami di meja makan itu.
“El, maaf, ya,” ucap Neva pelan.
Aku menggeleng, “Itu wajar, kok. Semua ibu pasti menghargai kerja keras anak-anak mereka. Jadi, wajar saja kalau ibumu bertanya begitu.”
“El, aku juga minta maaf. Aku tidak bisa melakukan banyak hal untuk membantu.” Aku menoleh, menatap Angel yang kini melihatku dengan rasa kasihan itu.
“Sudahlah, kalian ini kenapa? Semua yang terjadi padaku itu takdir, dan mungkin suatu kesalahan karena aku harus lahir di sana. Tapi, apa yang bisa kulakukan? Menolaknya? Kalian bercanda.”
Neva dan Angel saling menatap, sementara aku memilih untuk kembali menikmati makan siangku. Bukankah makan dengan suasana nyaman seperti ini sangat jarang terjadi di dalam hidupku? Setidaknya, aku ingin menikmati hari ini sebelum kembali ke dalam rumah itu. Rumah? Sepertinya tempat itu tidak layak dikatakan rumah.
“Ini untuk kalian.” Tante Rea kembali membawa 3 buah tas ransel yang motifnya sama. Hanya warnanya saja yang berbeda.
“Wah, bagus sekali, Tan!” seru Angel meraih warna biru kesukaannya.
“Kamu suka warna pink, kan, Elsa? Ini untukmu.”
Aku mengambil ransel itu, “Terima kasih, Tan, ini bagus sekali,” kataku seraya tersenyum kecil.
“Besok kita semua harus memakainya, oke?” Neva terlihat bersemangat sembari membolak – balik tas itu untuk memeriksa bagian dalamnya.
“Baiklah, kebetulan hari ini Tante ada janji. Kalian di sini dulu saja, temani Neva,” ucap Tante Rea sembari membelai lembut kepala putrinya. Sesuatu yang lagi – lagi tak pernah kurasakan dari tangan ibuku.
...
“Tante Rea tahu, ya?” Aku mengatakan itu setelah Tante Rea berangkat dengan mobil barunya. Neva menatapku dengan terkejut, raut wajahnya berubah cemas karena pertanyaan itu.
“Eh, itu ... ”
“Tidak masalah, Nev. Barangkali kisah hidupku ini menjadi obrolan yang menarik untukmu dan Tante Rea.”