“Darma, Jangan!” Ibu berteriak saat tangan kekar ayah menampar pipi Ruby. Luka memar itu belum sembuh, tapi sudah ditambah luka yang baru.
Ruby meringkuk sembari menutupi wajahnya yang berdenyut sakit. Sementara aku menatapnya dengan terkejut.
“Berbuat onar lagi, hanya itu yang bisa kau lakukan, hah!?” suara ayah terdengar keras, bahkan hingga ke luar rumah. Aku yakin orang-orang yang berada di sekitar kami dapat mendengarnya dengan jelas.
“Bukan dia, aku tahu itu bukan dia, Ayah!” aku berkata di belakang ayahku. Lelaki itu menoleh menatap marah.
“Bukan dia? Apa maksudmu, Elsa? Ruby selalu membuat masalah. Sekolah pun tidak ada gunanya. Berhenti saja!”
“Setidaknya Ayah dengarkan dulu,” aku berkata lagi membela Ruby. Tapi lagi-lagi ayah tidak peduli. Lelaki itu mengambil sapu lidi dan memukul Ruby berulang kali. Ruby tidak pernah membalas, ia hanya meratap dan menatap sakit di tubuhnya itu.
“Cukup, Darma!” teriak ibu yang kini menghentikan perilaku suaminya itu. Ayah melempar sapu lidi itu, napasnya terengah seolah ia telah puas melampiaskan semuanya kepada Ruby.
Ruby mendongak, menatap ayah dengan penuh kemarahan, mungkin lebih tepatnya kebencian yang tergambar jelas dari sorot matanya itu.
“Menyebalkan sekali, kau bahkan tak bisa melakukan apa-apa!” ujar ayah yang kemudian pergi begitu saja.
“Ruby, pergilah mandi.” Ibu membantu Ruby berdiri, namun dengan tangkas ia menyingkirkan tangan ibu, sesuatu yang tak pernah Ruby lakukan sebelumnya kepada ibu. Ruby berdiri, wajahnya menyeringai menahan perih. Luka itu memerah, berdarah.
Aku menatap Ruby kelu, dia benar, tak ada yang bisa kulakukan untuk membantunya.
“Ruby.”
Ruby menatap luka di tubuhnya itu, wajahnya merah dan matanya sembab. Ia tidak menangis, namun aku tahu jauh di dalam hatinya ia sangat terluka.
“Pakai ini,” aku mengulurkan salep luka padanya, tapi Ruby justru tersenyum kecut.
“Untuk apa? Setelah luka ini sembuh, nanti juga akan ada luka yang baru lagi,” tuturnya membuat hatiku pedih.
“Seharusnya dia mendengarkan aku, memberi kesempatan untuk berbicara,” kata Ruby lagi.
Aku menarik napas berat, Ruby benar, seharusnya ayah memberinya kesempatan. Namun tidak tahu kenapa tangannya begitu ringan untuk memukul putranya sendiri.