KELAM

Dewi
Chapter #5

Bab 5 putus sekolah

Aku terus memikirkan itu, semua perkataan Ruby tentang ayah dan wanitanya. Rasanya aku tidak ingin mempercayainya, tapi nyatanya ibu juga pernah mengatakannya sendiri. Sebenarnya siapa dia? Apakah ayah begini karena wanita itu?

Kuketuk-ketuk pena di atas meja sembari memikirkan semua itu. Aku melihat ke seantero ruangan, sepi. Tampaknya hanya aku sendiri yang berada di perpustakaan ini. Semua siswa tak sabar untuk berlari pulang begitu denting pelajaran telah usai berbunyi, kecuali aku.

“Belum pulang?”

Aku menoleh ke arah suara, wanita penjaga perpustakaan baru kembali sembari membawa camilan. Aku mengangguk, berharap dia mengizinkanku duduk di sini lebih lama lagi.

“Sudah sore, memangnya lagi banyak tugas, ya?” tanyanya ramah, menawarkan camilan yang berada di tangannya itu.

“Iya, belum mau tutup, kan, Bu?” tanyaku dan dengan sopan menolak tawaran itu.

“Sebentar lagi, kebetulan Ibu ada acara setelah pukul 4. Kamu bisa di sini sampai pukul 4 saja,” tegasnya.

Aku mengangguk, setidaknya aku bisa menenangkan diri walau hanya satu jam saja. Jika ditanya, aku pun malas untuk pulang ke rumah. Apalagi hari ini Ruby memilih untuk membolos. Aku tidak tahu, apakah dia benar-benar akan berhenti sekolah atau tidak. Seumpama itu terjadi, bagaimana kecewanya ibu dan apa yang akan Ruby lakukan di usianya yang baru menginjak 18 tahun itu?

Aku menangkup wajahku, terlalu lelah untuk memikirkan semua itu. Seolah semua beban harus kutanggung sendirian. Apalagi ujian sekolah sudah dekat, apa yang harus kulakukan?

“Kalau lelah pulang saja,” ucap wanita penjaga itu dengan senyum ramahnya.

“Sebentar lagi, Bu,” sahutku yang kembali membuka lembaran buku di depanku itu. Sebenarnya, tujuanku ke mari bukan untuk belajar. Aku hanya ingin sedikit lebih lama berada di sekolah. Setidaknya, aku tidak melihat apa yang terjadi di dalam rumah itu. Bahkan setelah ini pun, rasanya aku belum ingin pulang.

...

“Sudah kubilang, dia hanya memboroskan uang saja!”

Aku baru saja akan membuka pintu, namun suara ayah sudah terdengar begitu jelas. Dan benar saja, aku melihat ayah sedang menunjuk Ruby dengan ujung jarinya. Ruby menatap ayah, bola matanya bahkan tak bergerak.

“Kau berani menatapku begitu?” bentak ayah lagi yang tak terima dengan tatapan mata putranya.

“Ruby sedang tidak sehat, sudahlah,” sela ibu, yang mungkin sudah muak dengan semua ini.

“Apanya yang tidak sehat? Dia memang pemalas!” ucapnya lagi dengan penuh tekanan.

Ayah menoleh saat mendengar langkah kakiku memasuki rumah itu. Dilihatnya jam dinding sesaat, lalu kembali menatapku dengan alis bertaut. “Pukul berapa ini? Kau baru pulang, hah? Mau jadi apa kau di luar sana?!”

Aku memilih untuk tidak menjawab, kuletakkan ransel di kursi dan duduk untuk melepaskan sepatu.

“Kau tidak dengar? Ayah bertanya padamu, Elsa! Kau ingin menjadi seperti Ruby, heh?!”

Aku mendongak, menatap ke dalam mata ayah yang memerah. Aroma alkohol sudah tercium sesore ini. Dia memang tidak mabuk, tapi tetap saja aku tak menyukainya.

“Kenapa memangnya? Ayah juga sering tidak pulang, kan?” sahutku begitu saja dan berjalan melewatinya.

“Lihat itu anakmu, Hera. Sudah berani dia melawanku!” Ayah mengeraskan suaranya dan aku memilih untuk masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.

“Elsa mengatakan yang sebenarnya, Darma.”

Lihat selengkapnya