KELAM

Dewi
Chapter #8

Bab 8 Selingkuh? Benarkah?

Ruby menatap buku itu, buku sketsa yang berisi gambar-gambar miliknya. Bola matanya tidak bergerak, kurasa dia sedang melamun. Aku tahu, Ruby pasti sangat terkejut dengan pertengkaran mereka. Bukan karena wanita lain, namun sebuah tuduhan tentang dirinya.

“Ruby.”

Aku masuk ke dalam kamar itu, duduk di kursi belajarnya. Ruby hanya menoleh, tapi tidak menjawab.

“Aku menemui bibi. Kurasa ayah sudah salah paham dengan ibu. Kalau tuduhan itu benar, bibi pasti mengetahuinya.” Aku berusaha menjelaskan itu kepada Ruby. Ruby tersenyum, tapi aku melihat tatapan kosong di matanya.

“Ruby, kau tidak usah mendengarkan ayah. Semua itu tidak benar.”

Kali ini aku mendengar helaan napas berat dari diri Ruby. Ia menutup buku sketsa itu, memberikannya padaku. “Simpan ini, aku membuatnya dengan susah payah,” katanya dengan senyum yang terasa aneh di mataku.

“Kenapa? Kau tidak mau menggambar lagi?” tanyaku.

Ruby menggeleng, “Ya, sudah cukup untukku menggambar di sana. Elsa, bukankah semua ini karena aku?”

Aku menatap Ruby, matanya sayu dan pucat. Sepertinya ia cukup kehilangan berat badan. Akhir-akhir ini, Ruby memang menolak untuk makan. Sekeras apa pun kami berusaha, dia tetap menolaknya. “Kau salah, Ruby. Semua ini bukan karena kau. Tapi karena keras kepala ayah. Kenapa kau menyalahkan dirimu sendiri?”

“Elsa, kalau aku tidak pernah ada di dunia ini, mungkin mereka bahagia, kan?”

“Jangan bodoh! Kalau kau tidak ada, maka akan ada Ruby yang lain. Jadi, apa bedanya? Tak seorang pun tahu apa yang akan terjadi dengan hidupnya, Ruby.”

Ruby mengangguk pelan, “Kalau begitu, seumpama aku tidak ada sekarang. Maka tidak akan ada Ruby yang lain, bukan? Hanya akan ada Elsa di dalam rumah ini. Elsa yang mereka cintai.”

“Ruby, apa yang kau katakan itu? Jangan macam-macam. Ibu sangat sayang padamu, tidak ada perbedaan di antara kita berdua.”

Ruby tersenyum kecil, “Setidaknya ayah masih sayang padamu, Elsa.”

“Itu ... itu tidak sepenuhnya benar. Ruby, kenapa kau begini padaku?”

“Elsa, tanpa seorang pun mengatakannya, itu terlihat sangat jelas.”

Aku menatap mata cekung itu, entah sudah berapa hari Ruby tidak membiarkan dirinya tertidur.

“Aku tahu kau lelah dengan semua ini, Ruby. Tapi, ini bukan akhir dari segalanya. Kau bisa tinggal bersama bibi kalau mau. Dia menawarkan kamarnya,” kataku.

“Tinggal di sana? Di rumah ayah? Dia tidak akan pernah mengizinkan. Itu juga rumah ayah, bukan hanya milik bibi, kan?” tegas Ruby.

“Kau benar, tapi bibi dan paman akan melindungimu. Ayah sendiri jarang berkunjung ke sana, kan? Kau akan aman, kurasa.”

Ruby kembali menatapku, bibir pucatnya tersenyum tipis, “Apakah aku ini penjahat sampai harus melarikan diri, Elsa?”

Aku menggeleng, hatiku teramat sakit mendengar perkataan itu. “Tentu saja tidak. Kau putra ibu, kakakku, Ruby.”

“Jadi, kenapa aku harus meninggalkan rumah ini?”

“Maksudku hanya untuk sementara, Ruby. Setidaknya kau tidak akan diperlakukan ayah seperti itu.”

Ruby menggeleng, diliriknya buku sketsa yang berada di tanganku. “Tidak, aku ingin tetap berada di sini, Elsa. Masih ada gambarku yang belum selesai, maukah kau menyelesaikannya?”

Aku menatap buku itu, lalu mengulurkannya kembali kepada Ruby. “Kalau begitu, selesaikan!”

“Tidak, aku tidak akan menyentuhnya lagi. Buku itu sudah selesai bagiku, kau yang harus melanjutkan kisahnya, Elsa,” kata Ruby yang kembali tersenyum itu.

Aku menarik napas panjang, membuka lembar demi lembar dari buku sketsa itu. Setiap goresan begitu nyata dan hidup. Menggambarkan kesedihan. Wajah-wajah muram dan murung ada di setiap lembarnya. Jemariku membuka lembar terakhir, dan hanya menemukan sebagian wajah di sana. Kutatap kembali Ruby, dia hanya terdiam memandang pantulan dirinya di cermin itu.

“Kau ingin menggambar apa di sini, Ruby?” kutunjuk halaman terakhir itu, Ruby melihatnya lalu kembali menatapku.

Lihat selengkapnya