Tangan itu meraba tubuhku, perlahan dan diliputi keraguan. Aku baru saja terlelap saat buku sejarah musik jatuh dari genggaman tanganku. Tubuhku bergerak karena sentuhan itu, siluet bayangan di balik remangnya kamar membuatku terkejut bukan main.
Aku hampir berteriak, namun tangan itu sudah menutup mulutku lebih dulu. Hembusan napas terasa begitu dekat dengan wajahku.
“Tenanglah, Elsa.”
Suara itu begitu tak asing, aku bahkan baru saja berbicara dengannya sore tadi. Dan, apa yang dilakukannya sekarang di dalam kamar ini? Kenapa dia meraba tubuhku seperti itu?
“Elsa, kau cantik ... membuatku tergoda,” katanya lagi dengan suara berbisik.
Tubuhku terasa kaku, aku hanya mampu menggerakkan bola mata untuk menatap lelaki yang kini begitu dekat itu. Jemarinya kembali meraba tubuhku dengan begitu berani, menyentuh sesuatu yang seharusnya tak ia lakukan.
Aku menguatkan tangan, berusaha untuk mendorongnya, tapi apa yang bisa kulakukan saat tangan kekar itu menahan tubuhku lagi?
“Jangan berisik, nanti bibimu bangun,” peringatnya dengan senyum yang membuatku begitu tertekan.
“Jangan,” kataku saat ia mulai melepaskan tangannya dari mulutku yang gemetar.
“Tidak apa-apa, sebentar saja, oke?” dia tersenyum lagi, mengusap perutku dengan sedikit tekanan.
“To ....”
“Sudah kubilang jangan berisik, Elsa! Aku bisa saja mengatakan kepada bibimu itu kalau kau mencoba untuk menggodaku!” katanya dengan pupil mata melebar.
“Apa yang kau inginkan? Tolong, lepaskan aku,” pintaku yang kini mulai menangis.
“Aku sudah menunggu sejak lama, Elsa. Dan kau memintaku untuk melepaskanmu begitu saja?”
Lelaki itu menunduk, mengecup leherku berulang kali. Aku bisa mendengar dengan jelas desahan napas yang memburu di sisi telingaku, membuatku jijik!
“Bibi!” Aku berteriak setelah berusaha mendapatkan keberanianku. Lelaki itu terkejut, seketika melepaskan tubuhku dan berlari ke luar kamar dengan cepat.
Aku menatap pintu kamar yang kini terbuka, berharap wanita itu akan segera menghampiriku di sini.
“Elsa, ada apa?”
Bibi bertanya cemas sembari menghampiriku yang terduduk lesu di atas tempat tidur. “Kau bermimpi buruk, Elsa? Kenapa kau menangis?” suara bibi melembut, tangannya mengusap keningku yang berkeringat.
“Dia pasti memikirkan ayahnya, benar, kan, Elsa?” Lelaki itu muncul dari belakang bibiku, menatap dengan begitu tajam.
Bibirku gemetar, bukan karena takut namun karena rasa marah dan kecewa yang begitu besarnya. Aku tidak pernah berpikir kalau paman akan melakukan ini padaku, melecehkan keponakannya sendiri.
“Benarkah begitu? Kau bermimpi buruk karena ayahmu, Elsa?” tanya bibi lagi, menatapku sendu.
“Aku mau pulang,” ucapku yang tak ingin melihat lelaki itu lagi.
“Besok hari Minggu, Elsa. Kau tidak perlu buru-buru pulang, kan? Ayahmu juga sudah mengizinkan. Bibi berencana masak sesuatu yang enak untukmu besok pagi, jadi menginaplah barang semalam lagi,” kata bibi.
“Tidak, aku mau pulang sekarang,” desakku yang tak ingin tinggal di rumah ini lebih lama lagi.
Bibi menoleh ke belakang di mana suaminya masih berdiri di sana, lalu kembali menatapku bingung. “Tapi ini masih tengah malam, Elsa.”
“Aku bisa pulang sendiri,” kataku membuat bibi semakin heran dengan keinginanku itu.
“Elsa, kalau begitu biarkan paman mengantarmu, oke?” kata bibi yang tak bisa melarangku lagi.
Aku menatap lelaki itu, wajahnya terlihat tegang. Mungkin dia juga khawatir kalau aku akan mengatakan kejadian itu kepada istrinya.
Aku menggeleng, kembali menatap bibi yang tidak tahu apa-apa itu. “Aku akan meminta Ruby menjemputku.”
“Loh, paman bisa mengantarmu, kan, Elsa?” Lelaki itu akhirnya bersuara, membuatku muak.
Aku menggeleng pelan, mengusap wajahku yang basah karena peluh dan air mata. Kalau bukan karena bibi, rasanya aku sangat ingin membalasnya.
Lelaki itu seharusnya melindungiku seperti anaknya sendiri, namun ia justru berusaha merenggut keperawananku. Tidakkah cukup penderitaan yang kualami di dalam keluargaku sendiri? Dan sekarang dia malah menambahinya? Datang ke rumah ini merupakan kesalahan besar di dalam hidupku. Selamanya aku tak akan pernah memaafkan lelaki itu! Bahkan sampai bumi mengambilnya kelak, aku tak akan pernah memaafkan dia!
...
Apa yang terjadi malam itu, tak pernah kuceritakan kepada siapa pun. Ruby bahkan mereka kawan baikku. Rasanya begitu menyakitkan saat mendengar bibi begitu memuja suaminya, seolah ia adalah pribadi yang layak untuk dikagumi.
Terkadang, aku berpikir salahkah aku menyimpan semua ini sendirian? Merajut luka dari hari demi hari dan menutupi semua peristiwa itu dari orang-orang yang kusayangi? Sejujurnya, aku hanya mencoba untuk tidak menimbulkan masalah baru di dalam hidupku juga keluargaku. Mungkin bibi tidak akan pernah percaya dengan ceritaku, seumpama aku mengatakan itu padanya. Bagi bibi suaminya adalah yang paling benar. Sementara ibuku sudah terlalu menderita dengan perbuatan ayah, aku tak mau menggores luka baru di hati ibu lagi.