“Minumlah lagi.” Perempuan berbaju seksi itu menuang sebotol minuman ke dalam gelas Darma. Dan lelaki itu pun meneguknya hingga habis. Entah sudah berapa gelas yang mengalir ke dalam tubuhnya, membuat lelaki itu mulai kehilangan keseimbangan.
“Kau membuatku senang hari ini,” kata Darma membelai pipi wanitanya. Di saat seperti ini lelaki itu tidak pernah ingat tentang istri dan kedua anaknya, baginya hidup adalah bersenang-senang. Ia juga tidak peduli apakah istrinya selalu menunggu hingga larut, sampai memilih tidur di kursi ruang tamu sekedar menanti kepulangannya.
“Kenapa tidak kau ceraikan saja dia, Darma? Kau tidak pernah bahagia menikah dengannya, bukan?” ucap wanita itu lagi, yang kini sudah berada di dalam pelukan Darma.
“Sial! Siapa yang ingin menceraikan dia, hah! Aku mencintai Hera,” ucap Darma.
“Kau mencintainya? Omong kosong! Kau bilang begitu karena mabuk, Darma. Kau tidak mencintai siapa pun,” kata wanita itu tersenyum miring.
Darma merapatkan pelukannya di tubuh wanita itu, mencium aroma parfum menyengat dari tubuh wanitanya. “Aku tidak suka wanginya!”
“Terserah, tapi aku harus melindungi tubuhku dari aroma alkohol. Kau tahu, kan, aku memiliki banyak klien laki-laki?” ucapnya tak tahu malu.
Darma tersenyum di balik buah dadanya yang ranum itu, memejamkan mata.
“Kau tidak bisa tidur di sini, Darma! Pulanglah!” Wanita itu menyingkirkan Darma dari tubuhnya, membuat lelaki itu terkulai lemas di sofa.
“Astaga, kasihan sekali kau Darma. Cinta apa yang kau maksud itu?” ujarnya dan memanggil seseorang untuk mengantar lelaki itu pulang.
...
“Buka pintunya!”
Aku membuka mata saat mendengar suara ayah berteriak di luar sana. Lagi-lagi dia kembali larut malam dengan aroma yang memuakkan itu. Kudengar langkah kaki ibu menghampiri pintu, cepat-cepat membukanya.
“Lama sekali, sedang apa kau, heh?!” bentak ayah saat pintu rumah kami sudah terbuka untuknya.
“Ini sudah larut, Darma,” jawab ibu yang rupanya tertidur di atas meja potong kain bajunya itu.
“Apa peduliku!” Ayah menjatuhkan dirinya di sofa, caci maki mengalir dari mulutnya yang berbau alkohol.
“Kau bersama perempuan lagi, Darma?” tanya ibu yang mencium parfum menyengat dari tubuh ayah.
“Itu juga bukan urusanmu, Hera,” ucap ayah yang kembali memejamkan matanya itu.
Aku mengintip dari pintu kamarku, terlihat ibu sedang melepaskan sepatu dari kaki ayah, menatanya kembali. Memang benar apa yang dikatakan bibi kalau ibuku sangat mencintai ayah, sehingga ia tetap memilihnya meskipun ada pria lain yang bisa membuatnya bahagia.
“Bu,” aku memanggilnya lirih saat ibu sedang berusaha mengganti pakaian ayah yang berkeringat dan berbau minuman itu.