“Berhenti! Jangan berlarian di depanku!”
Ruby berteriak membuatku dan ibu yang sedang berada di dapur terkejut bukan main. Ibu meletakkan pisau dapur itu dan melangkah cepat untuk melihat Ruby yang berada di kamarnya.
“Ruby, ada apa?” Ibu terlihat panik saat menemukan Ruby yang berjongkok di atas tempat tidurnya itu.
“Mereka menggangguku! Usir anak-anak itu dari rumah ini!” kata Ruby yang menutup kedua telinganya dengan telapak tangan.
Aku menautkan kening, menatap Ruby dengan mata berkaca-kaca. Separah itukah sakitnya sampai dia mulai berhalusinasi sekarang?
“Tidak ada siapa-siapa di sini, Ruby. Hanya ada Ibu dan Elsa.” Ibu mengulurkan tangannya membelai rambut Ruby yang mulai tumbuh tak beraturan. Ruby selalu menolak setiap kali ibu ingin merapikan rambutnya itu.
“Dia berlari lagi! Lihat dia mengejekku sekarang!” Ruby menunjuk ke arah pintu, tatapan matanya terlihat marah dan tak terima.
“Bu, kita harus bagaimana sekarang? Obatnya hanya membuat Ruby tertidur,” kataku yang panik dengan perilaku Ruby itu.
“Ibu tidak tahu, Elsa. Ibu bingung.” Ibu meraih tubuh Ruby mencoba untuk memeluknya, namun Ruby justru mendorong ibu dan membuatnya hampir terjatuh.
“Ruby, apa yang kau lakukan?” ucapku yang menahan tubuh limbung ibu.
“Kau mau apa? Kau mau memukulku juga!” Ruby kembali berteriak, menatap ibu dengan mata terbuka lebar.
“Tidak, Ruby. Aku ibumu, aku sangat sayang padamu, Ruby.” Ibu berusaha untuk menenangkan Ruby kembali, namun ia justru semakin marah setiap kali tangan ibu berusaha untuk meraihnya.
Ruby kini tertawa, bola matanya tertuju ke segala arah. “Kenapa kucing-kucing itu berjalan di dinding kamarku? Lucu sekali,” katanya dengan tawa terpingkal.
Ibu menggeleng, ia tak sanggup lagi menahan air matanya. Jantungku berdegup kencang, aku tak mengira Ruby akan seperti ini. Bahkan semakin hari kondisi kejiwaannya semakin memburuk. Ruby tidak pernah makan, ia membuang semua makanan yang diberikan padanya. Setiap hari ia mengatakan hal-hal yang tak masuk akal, menertawakan sesuatu yang dianggapnya lucu lalu melamun dan diam seribu bahasa. Tak jarang pula Ruby mengamuk, melempar benda-benda yang berada di sekitarnya bahkan melukai kami.
“Aku tak tahan lagi, Bu. Aku tidak bisa hidup seperti ini!” kataku yang kini benar-benar menangis saat Ruby tiba-tiba memukul wajahku tanpa sebab. Aku menatap ibu dengan derai tangis di wajahku, namun ibu justru diam dan hanya memandang Ruby yang berjalan mondar-mandir di hadapannya.
“Di mana ayah?” kataku yang tak membutuhkan jawaban itu. Ayah yang melihat kondisi Ruby seolah memilih untuk menghindar. Lelaki yang seharusnya melindungi kami justru jarang berada di rumah. Ayah sama sekali tak mengubah tabiat buruknya itu. Ia masih saja bersenang-senang dengan wanita di luar sana, tak sedikit pun mencemaskan kami.
Ruby menoleh saat mendengar sebutan itu dari mulutku, matanya merah menatap tajam seakan ingin mengatakan kalau dia benci mendengar sebutan itu. Aku menutup wajahku, terisak di dalam sana. Ruby yang kukenal pendiam kini menjadi sosok yang menakutkan bagiku.
...
“Elsa, aku mendengar kabar kalau Ruby ....” Angel tak melanjutkan kalimatnya, gadis itu menatapku dengan rasa belas kasihan.
“Dengar dari mana?” tanyaku yang memang tak pernah menceritakan apa pun soal Ruby.
“Kebetulan teman mamaku tinggal di daerahmu, Elsa. Aku turut sedih dengan apa yang menimpa Ruby. Kau pasti sangat menderita, El,” katanya membuatku tersenyum tipis.