KELAM

Dewi
Chapter #28

Bab 28 Kepergian Jeremy

“Elsa, aku minta maaf.” Jeremy mendatangiku sore ini. Wajahnya menunjukkan kesedihan, yang bahkan menghindari tatapan mataku.  

Aku masih memperhatikan Jeremy yang terus menunduk, membuatku bingung dengan sikapnya yang tak biasa.  

“Ya? Kenapa minta maaf?” tanyaku yang merasa jika Jeremy tak pernah melakukan sebuah kesalahan atasku.  

Jeremy akhirnya menatapku lurus, belum pernah aku melihatnya seperti itu. Bibirnya yang kerap tersenyum, kini menunjukkan keseriusan.  

“Aku akan meninggalkan kota ini, Elsa.”  

Aku tertegun mendengar kalimat itu, bukankah Jeremy berjanji akan melanjutkan ke sekolah yang sama denganku?  

“Apa? Tapi, kenapa?”  

“Mamaku ingin aku melanjutkan sekolah di sana. Aku adalah satu-satunya harapan bagi mamaku, Elsa,” jelasnya.  

“Tapi, kau sudah berjanji padaku, kan?”  

Jeremy mengangguk pelan, ia lalu tersenyum tipis sembari menyentuh pipiku dengan tangannya yang dingin. “Aku tak bisa menolak keinginannya, Elsa. Aku harus menghargainya.”  

“Jeremy, aku pikir kita akan memulainya. Aku sudah berniat untuk membuka hatiku padamu. Neva tahu soal itu, dia mengerti kalau ....”  

“Elsa, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bisa melanjutkan perasaanku padamu. Mungkin, kita bisa menjadi teman baik. Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi padamu, Elsa, selain kata maaf.”  

Aku tak bisa mengucapkan apa pun lagi. Jadi, begini rasanya patah hati itu? Bukankah baru kemarin aku tahu rasanya bahagia karena seorang Jeremy? Aku tersenyum sembari mengangguk. Mungkin semesta hanya berpihak kepadaku untuk beberapa saat saja, sekarang aku harus kembali ke posisiku yang semula. Barangkali aku terlalu berharap jika kehadiran Jeremy akan membuatku kembali bangkit.  

Jeremy berbalik, sepertinya ia juga tak membutuhkan jawaban dariku. Aku menatap langkahnya yang menjauh dengan penuh kesedihan. Ia bahkan tak memberiku kesempatan untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal.  

...  

Entah sudah berapa kali aku menatap layar ponsel itu, berharap Jeremy akan mengirim pesan padaku. Namun nyatanya ponsel itu tak berkedip sama sekali.  

Aku merapatkan selimut ke atas tubuhku, udara dingin dan perasaanku yang terbalut kesedihan membuat tubuhku gemetar. Mungkinkah Jeremy benar-benar ingin melupakanku?  

“Jeremy, apakah kau bisa tidur malam ini?” Aku mengirim sebuah pesan padanya, namun pesan itu tak berbalas hingga aku terlelap dan jatuh ke alam kesedihan.  

...  

“Elsa, kau tidak ingin bangun? Apa kau sakit?”  

Suara ibu membangunkanku, tangannya membelai rambutku yang panjang terurai. Aku membuka mata, meraba sisi tempat tidur untuk menemukan ponsel itu, berharap Jeremy membalasnya.  

Dan, sekali lagi aku kecewa karena pertanyaan itu tak pernah berbalas lagi. Aku menatap ibu yang membuka jendela untukku, hawa pagi nan sejuk terasa menyentuh kulitku yang malas. Benar, rasanya aku tak ingin melakukan apa pun hari ini. Aku hanya ingin dia membalas pesanku, apakah begitu sulit?  

“Ibu akan mengantar baju pagi ini dan membeli beberapa kebutuhan kita, apakah kau mau ikut?” tanya ibu yang kembali menatapku.  

“Tidak, aku di rumah saja,” jawabku yang memang tak ingin ke mana-mana hari ini. Aku melangkah untuk membersihkan diri dan menemukan rumah yang terlihat sepi. Aku bahkan tak mencium aroma ayah semenjak kemarin malam.  

“Ayah belum pulang?” tanyaku seraya memeriksa ke semua ruang kecil di dalam rumah kami dengan mataku. 

“Belum,” jawab ibu lirih.  

Aku membuang udara kasar dari mulutku, kesal dengan perilaku ayah yang seperti ini. Terkadang aku membayangkan memiliki seorang ayah seperti ayahnya Neva atau Angel. Mereka begitu perhatian dan mencintai keluarganya. Tidak seperti ayahku, yang begitu egois dan kasar. 

“Apakah Ibu tahu ke mana ayah pergi? Sejak kemarin ayah tidak pulang,” kataku meraih gelas berisi teh hangat yang sudah disediakan ibu di meja makan.  

Lihat selengkapnya