“Kelak kau harus mendapat suami yang baik, Elsa.”
Aku menoleh, mengalihkan pandanganku dari sebuah buku yang sedang kubaca kepada ibu. Menatapnya iba. Aku tahu ibu mengatakan itu bukan tanpa alasan. Ia hanya sedang mencemaskan putrinya.
“Apakah dulu ayah tidak baik?” tanyaku lirih, memperhatikan ibu dengan wajah sayunya itu.
Ibu tersenyum, membalas tatapan mataku dengan lembut. “Ayahmu itu lelaki yang baik, tapi bukan suami yang baik. Dia seorang yang sulit melupakan masa lalu, seperti adonan kue yang telah menyatu, tak lagi bisa membedakan di mana gula dan bubuk pengembangnya. Itulah yang ada di dalam pikiran ayahmu.”
“Ayah menjadikan dirinya seperti itu, apakah karena ia sangat mencintaimu, Bu?”
Ibu menggeleng, jemarinya yang terampil kembali menusukkan jarum-jarum itu ke dalam kainnya. “Terlalu mencintai dan takut kehilangan menjadikan seseorang itu berlaku sebaliknya. Ini mengerikan, bukan? Sebenarnya, Ibu juga mencemaskan mental ayahmu. Apakah dia merasa puas dengan apa yang telah ia lakukan kepada Ibu dan kakakmu itu? Ibu tak melihat penyesalan di matanya.”
“Aku mengerti, kenapa Ibu mencemaskan aku. Semua karena perilaku ayah. Namun, kita tidak pernah tahu seperti apa orang yang akan menikahi kita. Seperti yang Ibu katakan tadi, ayah adalah lelaki yang baik tapi bukan suami yang baik. Bukankah Ibu mengetahuinya setelah menikah dengan ayah?”
Ibu mengangguk, “Ya, kau benar. Semua terlihat baik sebelum seseorang itu menikah. Tapi, Elsa, setidaknya kau harus bisa menilai orang itu dengan baik sebelum semuanya terlambat.”
Mendengar perkataan itu, wajah Jeremy kembali membayang di pelupuk mataku. Bukankah aku pernah berpikir kalau dia berbeda dengan remaja laki-laki lainnya? Tapi ternyata, aku harus mengubur semua pandangan itu tentang Jeremy. Dia bukan orang yang bisa menjagaku kelak.
“Bu, apakah kelak akan ada orang yang mau menerimaku apa adanya?”
Ibu kembali menatapku, bibirnya mengulaskan senyum tipis, “Kenapa? Ibu rasa masih terlalu jauh bagimu untuk memikirkan itu. Tapi, tidak ada salahnya kau berbicara dengan Ibu, Elsa.”
Aku menggeleng, membalas senyuman wanita paruh baya itu, “Tidak ada, aku hanya ingin tahu saja,” sahutku yang tak ingin bercerita tentang Jeremy.
“Ibu yakin kelak kau akan mendapatkan lelaki yang baik hatinya, Elsa. Karena kau putri Ibu yang baik hatinya.”
Aku memaksakan diri untuk tersenyum, tak tahukah ibu kalau orang yang kuanggap baik hatinya itu memilih untuk menjauh karena Ruby? Tapi aku tak ingin menyalahkan Ruby. Aku hanya membenci keadaan ini, dan mungkin marah karena telah dilahirkan di dalam keluarga ini tanpa bisa melakukan apa-apa.
...
Aku meletakkan buku itu di meja belajar, menatapnya cukup lama. Di dalam sana ada kisah romantis yang sulit untuk kuterima. Kisah yang hanya ada di dalam dongeng. Kuhela napas panjang sembari merebahkan pikiranku yang penat. Tak terasa sudah satu tahun lebih Ruby meninggalkan rumah ini, dan selama itu kami belum mendapatkan kabar baik.