“Ruby baru saja kehilangan ayahnya. Saya baru bisa menjengguk Ruby setelah beberapa bulan semenjak kepergian ayahnya itu.”
Lelaki itu menautkan keningnya, sedikit terkejut dengan kabar yang di bawa ibu ke yayasan di mana Ruby berada.
“Kami turut berduka, Ibu. Sepertinya kami dan Ruby tidak tahu kalau ayahnya sudah tiada,” ucap Gani.
Ibu mengangguk, membenarkan itu. “Saya sengaja tidak memberitahu Ruby. Saya tidak ingin membebani anak itu. Saya bingung, Ruby bahkan belum menunjukkan perubahan yang besar, kan?”
Gani menghela napas, ia tampak menyesal akan hal itu. Memang tidak mudah untuk mengembalikan sesuatu yang telah dirampas dengan paksa, terlebih oleh orang yang paling dekat. Dan Ruby telah kehilangan itu, rasa percaya serta ketenangan yang seharusnya ia dapatkan di rumah.
“Kami sudah berusaha, tapi memang tidak mudah untuk menyembuhkan sakit yang tak kasat mata seperti ini. Ruby, belum bisa mengendalikan emosinya. Jiwa anak itu benar-benar terluka, Bu.”
“Apakah dia masih sering berhalusinasi?” tanya ibu dengan nada putus asa. Beberapa kali terdengar hembusan napas dari mulutnya.
Gani mengangguk, “Ya, dia sering berbicara sendirian. Saat saya bertanya, dia mengatakan ada seseorang yang peduli padanya, dan orang itu selalu datang untuk mengajaknya berbicara. Hal seperti ini sering terjadi, Ruby sedang melihat sisi lain dari dirinya. Perasaan ingin dihargai dan dianggap ada, itulah yang muncul di dalam pandangan dan imajinasi Ruby. Tak jarang juga tiba-tiba Ruby mengamuk. Dia pernah memukul kawannya tanpa alasan. Ruby mengatakan kalau kawannya itu menertawakan dia, juga menghinanya. Padahal kawannya itu tidak melakukan apa pun selain menatap Ruby,” jelas Gani.
“Jadi, di mana Ruby sekarang?” tanyaku yang sejak tadi tidak melihat kehadiran kakakku itu.
“Oh, dia sedang menjalani terapi emosional. Saya akan melihatnya, apakah terapinya sudah selesai.” Lelaki itu berdiri, masuk ke dalam dan membuat kami menunggu beberapa saat.
...
“Ruby, kami datang untuk melihatmu.” Ibu tersenyum saat Ruby keluar bersama Gani. Ruby menatap Ibu dan aku bergantian, wajahnya terlihat lebih cerah hari ini. Jika dilihat dengan kondisinya saat ini, Ruby tampak baik-baik saja, seperti orang normal pada umumnya.
“Ibu, aku senang kau datang. Elsa, kau sudah besar sekarang,” ucapnya membuatku tersenyum lebar.
“Ya, Elsa sudah kelas 3 SMU, Ruby. Dia akan melanjutkan pendidikannya ke Universitas,” kata Ibu seraya menatapku lembut.
“Kau mau kuliah, Elsa?” tanya Ruby yang terlihat terkejut.
Aku mengangguk, “Aku mendapat beasiswa. Aku tidak akan membebani Ibu,” sahutku yang mengerti dengan tatapan Ruby itu.
“Oh, kau pintar rupanya.” Ruby tersenyum, kembali menatap ibu yang duduk di sisiku.
“Ibu membawa makanan untukmu, Ruby. Apa kau sudah makan?”
“Aku makan lagi nanti, aku ingin masakan ibu. Bagaimana ayah? Apakah dia masih membuat onar?”