Blurb
Kelana tak bisa mengelak dari kenyataan bahwa hidup adalah sebuah perjuangan melepaskan diri dari keterbelakangan. Melepaskan diri dari kebodohan. Kelana Nurfajar Nusantara. Demikian ayahnya memberi nama dengan harapan, kelak setelah dewasa dapat hidup mandiri di atas kakinya sendiri. Ibunya menggadang-gadang agar kelak setelah besar dan dewasa bisa menjadi lelaki tangguh dan menjunjung tinggi prinsip kejujuran dalam bersikap.
Hidup seorang diri, di kota metropolitan, Jakarta terasa begitu berat bagi Kelana. Apalagi ia datang dari desa. Karenanya, ia hampir selalu saja menyembunyikan identitas diri. Ia berpikir dan senantiasa bertanya meski dalam hati, apakah memang sudah seperti ini watak manusia indonesia saat ini? Tidak lagi acuh dengan kesulitan orang lain. Tidak lagi peduli dengan perasaan orang. Tidak membuat nayaman orang lain untuk sekadar bercerita atau mengungkapkan jati dirinya, perasaan dan isi hati.
Setidaknya itulah perasaan inferioritas diri yang hidup terngiang di benaknya kini. Mungkin bukan karena keangkuhan. Tapi karena iklim kompetisi yang begitu membelenggu orang kota. Hidup sudah terlalu susah. Siapa sudi memikirkan orang lain. Boleh jadi begitulah cara berfikir orang kota. Kebanyakan. Wajar jika kehidupan sudah tak lagi seramah, tampaknya. Bahkan hanya untuk sekadar berdialog pun sudah tidak sempat. Apakah ini karena masing-masing kita telah menjadi manusia super sibuk. Layaknya mesin produksi yang ditentukan oleh mekanisme waktu, bekerja dan bekerja. Merobotkan diri hingga seolah segalanya sudah dikendalaikan oleh mesin. Tinggal pencet tombol lalu bergerak dan tak berhenti, jika tidak dihentikan oleh sang majikan.
Manusia-manusia sudah semakin terkotak-kotak. Masing-masing seperti membangun dunianya sendiri-sendiri. Lalu membangun pagar dan tembok tak kasat mata agar orang lain, tidak bisa masuk dan mengganggu daerah dan ruang yang ia ciptakan untuk kelompoknya sendiri. Untuk dunia kotaknya sendiri.
Sudah sedemikian kakukah perilaku manusia di kota ini. Hingga relasi-relasi antar manusianya selalu saja dan harus selalu dihubungkan atas dasar konsep untung dan rugi.
Hidup seolah demi melayani dan memenuhi naluri kapitalistik. Atau setidaknya sesuai selera kapitalistik. Selera pasar yang harus serba untung. Hubungan kekerabatan yang juga sudah mulai luntur. Kita akan benar-benar bisa bertemu dan berbicara jika masing-masing membawa paket yang akan diniagakan. Layaknya barang komoditi. Diri kita juga harus tampil secantik mungkin. Sebab jika tidak, maka kita tidak akan bisa menarik orang lain, untuk sudi berinteraksi dengan kita.
Lalu, apakah ini juga bagian dari kepribadian kita. Manusia Indonesia? Kelana, semakin saja menerocos, berkata dan menggerutu sekenanya, tetapi hanya untuk konsumsi sendiri, hanya untuk disimpan di relung hati. Perjalanan hidupnya seolah perjalanan bagaimana mengindonesiakan diri. Berangkat dari sebuah desa yang entah, apakah ada di peta atau tidak. Ia terus berjalan menyusuri jalan setapak, kebun dan ladang, hingga keramaian terminal bagai mengurai takdir keindonesiaan dirinya yang belum tahu di mana ujungnya.