Kelana

ahmad kholil | @KholilAhmad
Chapter #1

Prolog

Bagi Kelana, ibu adalah matahari. Sumber hidup dan pusat perhatian. Bukan sekadar tempat untuk meminta, karena dia akan ada, bahkan sebelum dibutuhkan. Ia akan tetap ada, dan tak tergantikan, sebagai sumber untuk menimba kearifan hidup. Kebersahajaan hidup, dan keteguhan sebuah prinsip bahwa hidup di dunia bukanlah terminal akhir, bukan pula tujuan utama, sebab setelah itu akan ada kehidupan lain yang lebih kekal. Kebahagiaan hidup di dunia, memang harus diwujudkan dan diperjuangkan, tetapi jangan sampai membutakan mata hati dan pikiran.  

Jangan pernah menyesal dilahirkan sebagai orang miskin, karena jika kamu mampu menjalankan peran yang GustiAllah berikan sebaik-baiknya, niscaya tidak akan kehilangan kehormatan di hadapan Tuhan. Harta memang perlu, tapi hidup di dunia tidak ada yang kekal. Boleh manusia mengejar sekuat tenaga apa yang menjadi cita-citamu seolah akan hidup selamanya. Tetapi, jangan lupakan tugas akhiratmu, seolah duniamu akan berakhir esok pagi.

Itulah antara lain kesadaran yang telah terpatri di dalam diri. Tak usah lagi dibahasakan pun Kelana sudah mafhum. Itulah yang ia maksud sumber kearifan hidup yang tak akan pernah kering. Ia akan terus mengingatnya di setiap jengkal waktu. Hingga tidak sekadar kata-kata dan bunyi vokal yang keluar dari mulut atau rangkaian huruf vokal dan konsonan. Tetapi menjadikannya sebagai pegangan hidup dan menyatukannya dengan harapan. Mensenyawa dengan impian. Melampuai segala usaha. Begitu bermakna dan terejawantahkan secara nyata lewat peluh dan keringat dalam jatuh bangunnya kehidupan. “Semoga aku pun bisa.” Kelana menyemangati dirinya sendiri, setelah akhirnya mampu memahami sendiri arti panjatan doa dan restu ibu di setiap jejak langkah kakinya yang terukir samar di atas tanah kering berdebu di setiap jengkal langkahnya.  

***

Tanpa pegangan prinsip hidup yang kokoh, tak terbayang bagaimana ia bisa melanjutkan hidup dan memelihara harapan yang seperti dititipkan oleh ayahnya lewat makna dari nama yang disandangnya. Tak tahu juga bagaimana kelak bisa membahagiakan ibu tercinta, meski sang ibu selalu mengatakan bukan harta yang diharapkan darinya. Tetapi sebuah kesuksesan yang sangat relatif. “Ibu sudah akan senang jika melihatmu bisa meraih cita-cita. Itu karena ibu menyadari, tak bisa memberi apa yang seharusnya kau butuhkan.”

Mendengar ucapan ibunya ini saja sudah bisa membuat air mata Kelana jatuh bercucuran. Itu semakin menguatkan tekadnya untuk bangkit meraih asa dan harapan. Di dalam lubuk hati yang paling dalam, ia berazam-berharap dengan sangat, kelak bisa membahagiakan ibundanya. Meski, hingga saat ini, ia belum tahu bagaimana caranya. Itulah makanya, saat ini, asal bisa membuat ibunya tersenyum dan tak lagi berlinang air mata saja, perasaan senang dan bahagianya sungguh tak tergantikan. Saat ini, memang begitulah adanya.

Lihat selengkapnya