Kelana

ahmad kholil | @KholilAhmad
Chapter #2

Sebuah Tanya Tentang Indonesia

Kesendirian, sepi, dan keterasingan yang terasa melelahkan seperti selama ini, tiba-tiba kembali merayap datang, mengantarkannya pada lamunan yang tak jelas ujung pangkalnya. Tiba-tiba ia merasa perlu untuk kembali mempertanyakan status sosialnya di jagad raya ini. Betulkah atau syahkah, jika selama ini ia mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari warga negara asli Indonesia yang hak dan kewajibannya dijamin oleh undang-undang. Sebab nyatanya, di tempatnya berdiri saat ini, ia merasa seperti tak diakui dan diterima sebagai penduduk syah pribumi. Pada titik tertentu, ia bahkan merasa asing tinggal di kampung sendiri.   

Sering ia bertanya, meskipun sebenarnya kita besar dan hidup di negeri sendiri. Makan dan minum dari tanah air Indonesia, citra rasa berpakaian dan berperilaku layaknya budaya masyarakat jawa, Indonesia. Bersarung disore hari, berpeci songkok untuk salat dan pergi ke masjid. Atau memakai batik di acara resmi dan pesta pernikahan, tetapi kesadaran kulturalnya selalu terusik untuk bertanya, apakah kita secara sadar benar-benar anak-anak syah negeri ini?

Kesannya memang berlebihan, lantaran kesadaran seperti ini rasanya hanya milik satu dua orang saja. Karena berbicara tentang segala hal menyangkut jati diri sebagai manusia, mengintrogasi diri, apakah masih layak sebagai warga, suku, dan bangsa, sepertinya hanya sebagai sikap yang mengada-ada. Atau tepatnya kurang kerjaan. Lebih-lebih bagi orang kebanyakaan. Orang biasa. Lain halnya mungkin bagi kalangan ningrat atau penguasa. Boleh jadi, kesadaran akan nasab – keturunan – sebagai manusia berdarah biru sudah tertanam dan terpatri sejak dini bahwa sebagai priyayi mereka merasa memiliki hak untuk mendapatkan segala kemudahan dan merengkuh dengan mudah apa saja yang dimaui semudah menudingkan jari telunjuk.

Sementara, bagi mahasiswa, kesadaran akan jati diri sebagai manusia, mungkin hanya muncul di ruang diskusi, saat mereka sedang giat mencari identitas diri. Pada saat itu, mereka mungkin merasa menjadi manusia yang paling sadar akan identitas diri yang mungkin bisa berarti sedang menapaki strata tertentu sebagai manusia terpelajar. Intelek. Kelas menengah atau setidaknya, tengah berada pada suatu titik atau imaji tertentu untuk menjadi seperti apa yang diinginkannya. Menerka-nerka impian dan harapan, mengukur seberapa mahal harga yang harus dibeli atau dibayar dan lalu, kapan semuanya itu bisa kembali. 

Kesadaran diri, mungkin juga hanya muncul dalam diskusi atau ruang seminar. Namun kalau direnung-renungkan, mungkin kita pantas saja bertanya dan merasa, apa benar secara biologis atau fisiologis mewakili dan merepresentasikan penduduk di kepulauan Nusantara ini? Berkulit sawo matang, atau bermata sipit, berambut hitam, dan lalu mencitrakan diri sebagai sesosok yang berbudi luhur. Jujur, ramah, dan santun serta mengutamakan jalan tengah dalam bersikap dan menyukai cara kerja keroyokan atau istilah kerennya gotong royong. Rasanya, kok mengada-ada karena sepertinya, kita memang tidak pernah benar-benar sadar akan hal itu.

Dalam dunia gemerlap yang mencitrakan dirinya sebagai zaman modern ini, sepertinya kita tak lagi sempat berpikir sebagai manusia Indonesia dengan segala atribut lahiriyahnya. Karena mungkin saja hal itu tidak diperlukan atau malah tidak lagi relevan lantaran saat kita berhadapan dengan individu lain, kita tidak lagi harus bersusah payah menjelaskan bahwa kita asli berasal dari Indonesia. Karena sebagaimana kita, mereka juga tidak pernah melakukan penyadaran perilaku, etnik dan etik yang selaras dengan kultur dan watak asli Indonesia. Termasuk, mungkin mereka yang secara patriotis mengaku-ngaku sebagai orang Indonesia. Karena faktanya, mereka hanya tahu bahwa dari sejak lahir, makan dan minum dari tanah air dan lingkungan tempat mereka tinggal saat ini.

Betul memang, dalam buku sejarah yang kita pelajari di sekolah dasar, kita diajarkan untuk berbangga diri memiliki nenek moyang pelaut. Konon, dahulu angkatan perang laut kita yang paling disegani di Asia. Paling tidak itu dahulu di zaman Majapahit.

Itu pun jika kita masih boleh mengklaim sebagai bangsa yang terlahir dari bekas reruntuhan Majapahit, seperti yang digagas oleh para pendiri bangsa ini, yang secara sadar merasa syah untuk melanjutkan saja hegemoni atas tanah bekas kekuasaan Majapahit, itu saat mereka mengikrarkan diri secara kolektif untuk menegakkan dan mendirikan negaranya dengan nama, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di atas tanah air warisan Majapahit. Tanah-tanah kekuasaan yang sejatinya lahir dan berhasil mewujud menjadi satu kesatuan dalam bingkai wawasan nuswantara, berkat kepahlawanan maha patihnya yang termasyhur dengan sumpah palapa-nya[1] itu.

***

Kembali ke pertanyaan semula. Apakah kita secara sadar pernah merasa sebagai asli warga bangsa Indonesia? Sepertinya, pertanyaan itu memang tidak lagi relevan. Karena sepertinya kita telah kehilangan ikatan bathin, rasa nasionalisme yang dulu sempat kita banggakan. Karena faktanya, saat ini kita hidup secara sendiri-sendiri. Di atas kaki sendiri-sendiri. Dalam bahasa yang kita pinjam dari negeri lain, masing-masing dari kita telah menjadi begitu egois, individualis dengan sekat dan tembok tak kasat mata. Karena nyatanya, secara terang-terangan, mereka tidak akan lagi merasa bersalah dan risih, untuk membangun benteng tinggi nan kasat mata dengan memagari rumahnya agar tak terjamah orang lain demi menonjolkan identitas personal – dirinya. Dan, lalu dengan gemagah berdiri di tempatnya seraya membusungkan dada, mengagungkan keakuan dan kekamian, sambil menjuk-nunjukan jemari, Anda siapa?

Lihat selengkapnya