Kelana

ahmad kholil | @KholilAhmad
Chapter #3

Di Bawah Lengkung Kubah MasjidMu

Hari itu, malam ganjil di akhir bulan Ramadhan. Dalam kesendirian yang  sedih, pilu serta tubuh yang telah letih, setelah segala usaha menenangkan diri tak berhasil ia lakukan. Di atas loteng, di bawah lengkung kubah masjid Takwa, Metro, dalam hamparan sajadah tempatnya menengadah dan memunajatkan doa dan harapan, seberkas sinar terang, putih, tiba-tiba datang menghujam menyelusup masuk ke dalam dada. Lalu menjalar ke seluruh tubuh. Memberikan sensasi dan getaran lembut yang tak dapat ia lawan.

 Tubuh yang sudah lelah, menderas dan mentadaruskan asma Tuhan, itu pun terguncang hebat. Bergetar kuat dan membuatnya seperti menggigil terserang demam. Dalam moment sesaat, itu seolah dunia membeku dalam keheningan. Angin berhenti mendesau. Sejenak, ia tercekam. Dalam kepasrahan bulat dan total, itulah ia merasakan hangat belaian Tuhan yang Maha Lembut menyentuh tubuh fana miliknya. Menjelma dalam kilasan cahaya putih berkilau. Sejenak ia membeku, hampa dalam sebuah ruang yang entah.

“Ini aku milik-Mu, ya Allah. Ambillah, jikalau waktunya sudah tiba,” bibirnya tak mampu bergerak, hanya bathin dan jiwanya saja yang bergetar melafadzkan kepasrahan antara tak sadar dan terjaga dirinya.

Dalam doa itu, seolah bulan datang berkilatan bagai seribu bintang berkedip-kerlip, hinggap di atas pucuk kubah masjid dan meluruh dalam sejuk menghujam jatuh di jantung kegelapan perasaan dan pikiran. Lalu, dalam sekerjap mata, terlihat berkas cahaya bulan itu memetakan sebuah jalan pilihan, dari sebuah imajinasi yang masih samar. Kejang dan getar tubuh yang dirasakan tak tertahankan, itu pun mereda. Menjelma damai dalam sejuk air yang membasuh seluruh tubuh dari panas terik matahari padang syahara. Dalam sensasi itu, ia merasakan kenikmatan luar biasa dari ujung kepala turun meluruh ke ujung jemari kaki. Tubuh pun bermandikan keringat. Tak terasa air mata menggenang di pelupuk, berlinangan, tetapi disusul kemudian semesta bahagia. Tiba-tiba ia merindu, tiba-tiba ia serasa nyandu.

“Kapan ya Allah, malam-malam indah-Mu kembali datang bermandikan cahaya.”

Usai mendapatkan sensasi, itu Kelana tak dapat segera beranjak pergi. Duduk seorang diri, tertegun di atas loteng, tepat di bawah lengkung kubah Masjid. Sementara, di bawah, terlihat para jemaah sedang asyik masyuk, khusuk dalam zikir dan doa. Air mata terus saja meluruh. Ada kedamaian yang tak terlukiskan di sana. Hingga untuk waktu yang lama, ia tetap dalam tegun dan kagum penuh rasa bahagia. Di sana tersimpan sebuah rahasia yang menyelinap masuk dan menjelma tanda tanya.

“Inikah jalan pilihan, dari sekian imajinasi yang datang silih berganti?”

Malam itu, Kelana tak ingin beranjak, terduduk haru di bawah lengkung kubah Masjid. Jantungnya sudah tak lagi berdegup kencang. Hanya matanya yang tak dapat terpejam, memandang – nerawang – seisi penjuru kota yang telah terlelap di ujung malam.

***

Iya, di Jakarta, Kelana hidup sendiri. Bahwa kemudian bisa bertahan hidup, sebenarnya sudah amat bersyukur. Apalagi bisa manamatkan kuliah di sebuah perguruan tinggi agama negeri di Jakarta. Bagi Kelana, itu sudah merupakan keberuntungan yang besar, seperti mendapatkan surga saja. Di Jakarta, Kelana hidup sendiri. Bahwa kemudian bisa bertahan hidup, sebenarnya sudah amat bersyukur. Apalagi bisa manamatkan kuliah di sebuah perguruan tinggi agama negeri di Jakarta. Bagi Kelana, itu sudah merupakan keberuntungan yang besar, seperti mendapatkan surga saja – dzalika al-fauzul ‘adzim (QS. al-Maidah : 119). Bagaimana tidak? 

Karena mimpi saja tidaklah cukup. Keyakainan saja bisa terkikis, apalagi hanya sekadar angan-angan yang masih samar. Itu disadari oleh Kelana. Meski, sebuah tanda juga kerap muncul dan mengabarkan bahwa dengan perjuangan keras, mimpi bisa menjadi nyata. Tetapi bagaimana caranya, tetaplah sebuah misteri? Bagaimana bisa melanjutkan studi dan kemudian berhasil mendapatkan gelar sarjana? Apalagi jika harus mendapatkannya di sebuah perguruan tinggi ternama. Itulah asa yang muncul dan tenggelam di alam bawah sadar Kelana. 

Perasaan inilah yang belakangan menghantui pikiran dan angannya, hingga saben malam tiba, ia tak dapat tidur nyenyak. Pikirannya hanya tertuju pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara acak dan ajek, dan tanpa menanggang rasa. Tega-teganhya, Lukman, salah seorang temannya selalu mengusiknya dengan pertanyaan yang sama, kamu mau melanjutkan kuliah di mana Kel. “Bareng aku saja, gak usah jauh-jauh. Unila.”

Iya, saat itu, tahun 1994, Kelana baru saja lulus dari Madrasah Aliyah Negeri (MAN) I Metro. Dan di tahun itu, jangankan untuk bisa memberikan jawaban pasti, mengangankan saja, rasanya sudah teramat berat, meski di dalam hati betapa besar keinginan untuk bisa memberikan jawaban pasti. ”Kamu mau melanjutkan ke mana?” 

Dan sudah pasti, hatinya juga begitu miris, seperti diiris-iris, justru saat kepala sekolah memberinya ucapan selamat atas kelulusannya. Sebuah ucapan yang seharusnya sangat spesial, bahkan karena Kelana berhasil lulus dengan prestasi yang cukup gemilang. Ia mendapatkan nilai kelulusan tertinggi di kelasnya. Dan peringkat tiga terbaik umum -- pararel -- di sekolah tempatnya belajar. Ada tujuh kelas. Setiap kelas terdiri dari, 35 siswa, itu berarti ada 245 orang siswa – siswi yang harusnya bisa lulus bersama. Sayangnya, ada empat siswa yang tidak lulus di tahun itu.

Seorang adalah teman sekelasnya sendiri, Seto Mulyadin. Sungguh sangat disayangkan, karena sesungguhnya Seto dari kalangan berada. Tetapi, entah apa masalahnya, hingga dalam kesehariannya, ia selalu bertampang dekil. Gaya berpakaiannya tidak karu-karuan. Celananya tembelan di sana-sini, rambutnya awut-awutan, demi untuk mengikuti mode. Gaya berpakaiannya ini sama sekali tidak mencerminkan seorang pelajar. Entah apakah ada hubungannya dengan kebiasaannya selalu nongkrong di terminal atau tidak, nyatanya caranya mengendarai motor, seolah ingin menunjukkan bahwa dia tidak takut mati atau mungkin karena merasa memiliki nyawa rangkap. Karena ngebut di jalan raya, seolah sudah menjadi hobynya. Juga sudah bukan rahasia lagi, jika setiap harinya memang terlihat ada di lingkungan sekolah, tetapi jarang sampai di dalm kelas dan lebih sering nongkrong di kantin sekolah. Banyak teman yang mencoba mengingatkannya, tetapi bukannya membuat sadar justru membuatnya gampang naik pitam. Tak mengherankan, jika banyak cewek-cewek yang suka memplesetkan namanya dengan panggilan Setan. Karena tingkahnya yang menyerupai setan. 

Suatu hari di dalam kelas pernah bertengkar dengan Kelana. Gara-garanya sepele. Hari Senin, kelas Kelana mendapat giliran menjadi petugas upacara. Semua keluar lapangan. Kelana ingin memastikan semua temannya sudah keluar kelas. Ia masuk ke dalam kelas meminta semua segera keluar mempersiapkan diri, Seto diajak turut serta. Tapi ia malah naik pitam. Mendekat, lalu naik ke atas meja, sambil menudingkan jarinya ke arah muka Kelana, ia berteriak, “Kelana! Kamu jangan ikutan ngatur-ngatur gue, ya!”

Kelana kesal. Sudah bukan kali ini saja, Seto membikin ulah. Maka, ia pun berkata, “Seto! Siapa yang mau ngatur kamu! Yang benar adalah kenapa kita tidak berusaha menjadi yang terbaik seperti kelas yang lain. Dan kenapa kita tidak bisa kompak! Itu saja! Simpelkan?”

“Udah jangan banyak bacot lho! Mentang-mentang Ketua Osis di sini, lho ya jadi sok berkuasa!” teriaknya sambil menarik kerah baju Kelana.

“Oh, jadi begitu persepsi kamu. Ingat ya! Pertama, saya tidak pernah minta kamu menghormati saya. Kedua, saya tidak pernah ikut campur urusan kamu. Selama ini saya sudah cukup sabar melihat tingkahmu. Merusak suasana belajar di kelas. Saya tetap diam. Ketiga, sekarang apa maumu!?”Kelana tak kalah sengit.

Tiba-tiba Seto bergerak maju sambil mendaratkan pukulan telak, di wajah Kelana hingga terhuyung ke belakang. Lalu, sedetik kemudian Kelana bangkit dan balas memukul. Menerjang. Yang lain, menonton, tak berani melerai. Gaduh. Terdengar hingga ke luar kelas. Demi mendengar kegaduhan, S.A. Minu, Pembina Osis datang. Ribut-ribut segera dilerai. Upacara berlanjut. Dan tak lama setelah itu, Seto dan Kelana disidang di ruang BP. Mereka diminta berdamai. Bermaaf-maafan. Di luaran saja. Sebab di hati, masih ada rasa dongkol. Karena merasa dilecehkan. Satu sama lain.

Mengingat kejadian itu, Kelana jadi malu. Mengingat hari yang seharusnya bisa dirayakan, itu tiba-tiba muncul rasa iba. Seto, teman sekelasnya, satu dari empat orang siswa yang tidak lulus. Kejadian ini amat kontras dengan apa yang sedang dialaminya.  

Lihat selengkapnya