Beberapa saat lalu masih terdengar tangis kehilangan begitu pilu mengiringi panjatan doa-doa yang dilantunkan dengan khusyuk. Kini hanya tersisa lengang. Dedaunan kamboja bergoyang ke kiri dan kanan sesuai sapuan angin kering, menjadi hiburan bagi jasad-jasad terbujur kaku di dalam liang lahat yang hanya berteman sunyi.
Pada samping gundukan tanah merah dengan taburan kelopak-kelopak bunga tujuh rupa serta potongan daun pandan, sosok dengan rambut hitam legam sepinggang, duduk berjongkok memeluk kedua lutut. Matanya menatap nanar pada nisan bertuliskan: Kelana Dinanti, lalu dua deret di bawahnya terukir tulisan tanggal lahir serta tanggal kematian.
“Jadi, hari ini aku udah mati, ya?” Kelana bertanya entah kepada siapa.
Niat hati Kelana mendengkus keras sebagai pelampiasan gundah, tetapi tidak ada napas yang terembus dari kedua lubang hidungnya.
“Ini pasti cuma mimpi.” Kelana menolak untuk menerima keadaan begitu saja, lalu kembali berujar, “aku coba hitung sampai tiga, pasti bangun.”
Kelana memejamkan kedua mata. Kemudian menghitung angka dengan hati-hati.
“Satu … dua … tiga.”
Begitu sepasang mata bulat Kelana kembali terbuka lebar, dia masih mendapati tempat yang sama. Area pemakaman dengan aroma khas kamboja yang semerbak ke mana-mana saat ini menjadi tempat keberadaan Kelana. Gundukan tanah di hadapan Kelana tampak begitu nyata.
Kernyitan tergurat kentara pada kening Kelana. Dia heran karena tidak bisa mengembuskan napas, tetapi hidungnya masih berfungsi untuk menghidu aroma yang menyeruak itu.
“Ini beneran aku udah mati, ya? Kayaknya cuma mimpi deh.” Kelana masih sulit memercayai bahwa eksistensinya di dunia ini bukan lagi sebagai manusia.
Telunjuk dan ibu jari tangan kanan Kelana iseng mencubit lengan kiri sendiri.
“Enggak berasa,” gumam Kelana sendu.
Kelana ingin mengadu, tetapi tidak tahu kepada siapa. Tidak ada napas dan tidak bisa lagi merasakan sakit membuat Kelana memvalidasi bahwa dirinya memang sudah mati. Akan tetapi, sangat sulit bagi Kelana untuk menerima kenyataan yang terjadi. Kelana tidak ingat bagaimana kronologi dirinya bisa sampai menemui ajal. Tahu-tahu dia sudah duduk di samping kuburan sendiri setelah tangis dan doa tidak lagi tertangkap indra pendengaran.
“Masa aku beneran mati, sih?” Kelana rasanya ingin mengutuk takdir, tetapi dia tidak punya nyali untuk melakukan itu. Dia masih ingat dosa dan takut masuk ke neraka.
“Iya, kamu beneran udah mati kok.”