Semasa hidup dulu Kelana pikir hantu pasti memiliki visual yang sangat menyeramkan. Asumsi tersebut berasal dari penggambaran dalam cerita fiksi atau film-film horor yang pernah Kelana saksikan. Biasanya para hantu digambarkan sebagai sosok kurang sedap dipandang, dengan konstruksi wajah tidak beraturan dan berlumuran darah. Atau berbalut kain kafan compang-camping penuh noda tanah, ditambah belatung yang menimbulkan kesan menjijikkan.
Akan tetapi, yang Kelana lihat di tempat karantina saat ini sangat jauh berbeda dari bayangannya selama hidup di dunia. Sosok-sosok yang Kelana temui pada dasarnya memiliki wujud serupa manusia dengan wajah dan anggota tubuh lengkap. Hanya cara berjalan mereka sedikit berbeda dari orang hidup, yaitu tidak menjejak ke tanah secara langsung, melainkan melayang beberapa sentimeter di atasnya. Lebih dari itu, mereka juga bukan sosok transparan yang bisa menembus benda padat. Para arwah tetap harus melewati pintu untuk keluar masuk sebuah bangunan.
Menurut pandangan Kelana, kawasan yang Bellissa sebut sebagai ‘tempat karantina’ itu mirip seperti kompleks perumahan di alam manusia, di mana terdapat rumah-rumah berderet dan saling berhadap-hadapan. Satu rumah dihuni oleh satu arwah saja karena ukurannya yang tidak begitu besar. Kelana sendiri menempati rumah nomor 12. Konon, penghuni terdahulu baru saja menuju ke alam baka, tepat beberapa saat sebelum Bellissa dan Satria menjemput Kelana di pemakaman.
“Aku harus ngapain di sini?” Itu hanya satu dari sekian banyak pertanyaan yang singgah di kepala Kelana sejak pertama kali menemukan dirinya merenung di samping makam bertuliskan namanya sendiri.
Kematian Kelana saja masih menjadi misteri baginya. Ditambah lagi, alasan keberadaan Kelana di tempat karantina pun belum kunjung dia mengerti. Selain karena Kelana tidak mau hidup luntang-lantung sebagai arwah tanpa mengenal siapa pun di dunia barunya. Kelana juga bertanya-tanya bagaimana caranya dia akan menuju ke alam baka nanti.
“Enggak mungkin aku di sini selamanya, ‘kan?” Kelana kembali bergumam.
Kelana lantas menghela hampa. Dia tidak tahu harus melakukan apa dalam eksistensinya yang bukan lagi menjadi golongan manusia. Kelana juga belum ingin melakukan interaksi dan menjalin kedekatan dengan arwah-arwah lain. Dia merasa perlu membiasakan diri terlebih dahulu terhadap dunia barunya itu.
“Aku harus ngobrol sama siapa?” gumam Kelana seraya mengedarkan pandangan.
Dua bocah kecil tanpa rambut yang sedang asyik bermain kelereng di halaman rumah menjadi objek perhatian Kelana saat ini. Mereka berdua tidak memakai baju atasan, hanya mengenakan celana pendek berwarna putih sedikit lusuh, sebatas betis yang memamerkan tubuh ringkih menyerupai tulang berbalut kulit saja. Kelana meringis iba menyaksikan dua bocah yang tengah tertawa bersama itu. Di mata Kelana kedua bocah itu tampak menyedihkan meskipun sedang berbagi kebahagiaan.
Apa mungkin mereka itu yang disebut tuyul? gumam Kelana menebak-nebak dalam hati. Tapi, kenapa mereka malah main gundu? Kok enggak cari duit?
Tuyul yang Kelana pahami selama hidup adalah makhluk tidak kasatmata pengemban tugas mencuri uang bagi pemilik mereka. Kelana tidak pernah membayangkan kalau para tuyul juga memiliki waktu luang untuk bermain-main seperti itu.