"Dilarang melintasi perbatasan pada jam 6 sore sampai jam 12 malam. Dilarang melintasi perbatasan pada jam 6 sore sampai jam 12 malam. Dilarang melintasi perbatasan pada jam 6 sore sampai jam 12 malam." Kelana terus mengulangi larangan nomor 12 yang tercantum pada halaman 61 Buku Panduan Arwah tersebut, sudah serupa merapalkan mantra.
Akan tetapi, meskipun Kelana mampu menghafal poin tersebut di luar kepala, dia tidak tahu perbatasan yang dimaksud dalam peraturan itu. Bellissa juga belum menunjukkan kepadanya dengan jelas. Jadi, bagaimana Kelana bisa tahu dia akan melintasi batas tersebut atau tidak?
"Apa aku tanya sama Bellissa aja, ya?" Kelana sudah membaca seluruh isi buku panduan dengan cermat, tetapi tidak menemukan petunjuk apa-apa tentang batas wilayah karantina yang sekarang menjadi tempat tinggalnya.
Perihal penunjuk jam, Kelana masih bisa mendengar dentang dari arah pusat karantina yang dibunyikan setiap satu jam. Jumlah dentang menunjukkan waktu yang sedang dijalankan. Misal saja pada jam sembilan, maka akan terdengar bunyi besi yang dipukul dengan lantang sebanyak sembilan kali.
"Tanya Bellissa aja, deh," pungkas Kelana memantapkan tekad, daripada dia tersesat di kemudian hari.
Kelana keluar dari rumah bernomor 12 untuk menuju ke pusat karantina. Meskipun langit sudah gelap, aktivitas para arwah tidak pernah berhenti. Riuh rendah suara sosok-sosok yang saling menyapa, sempat terdengar ke telinga Kelana. Bahkan, tidak sedikit yang sedang bertukar cerita tentang bagaimana kematian mereka akhirnya diketahui.
"Aku beneran enggak nyangka. Ternyata istri baru papa sengaja mendorongku dari balkon, padahal selama enam bulan mereka menikah, mama tiriku itu sikapnya baik banget. Enggak kejam kayak ibu tirinya Cinderella."
Kelana sengaja memperlambat langkahnya untuk mencuri dengar curhatan salah satu arwah di teras rumah yang menghadap ke utara.
"Berarti kamu udah ingat kejadian di hari kematianmu?" Arwah yang satunya menimpali dengan pertanyaan untuk memastikan.
Selain memasang kedua telinga, Kelana juga diam-diam memperhatikan raut wajah pucat itu. Sosok yang sedang bercerita, menggeleng pelan-pelan.
"Aku belum ingat, tapi tadi ketemu sama mbak yang kerja di rumah. Dia baru aja meninggal dan mampir ke sini cuma buat kasih tau kematianku."
Langkah Kelana bukan lagi lambat, melainkan berhenti. Dia memilih berjongkok dan pura-pura mencari belalang atau kupu-kupu sebagai dalih untuk bisa mencuri dengar lebih banyak cerita. Obrolan kedua arwah itu terlalu seru untuk dilewatkan begitu saja.
"Terus ... kamu mau bagaimana?"
Kelana semakin menajamkan pendengaran. Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah apa yang mengusik benak Kelana beberapa waktu ini. Bagaimana sikap yang akan Kelana lakukan setelah mengetahui penyebab kematiannya?
"Aku enggak tau. Aku masih belum ingat sepenuhnya tentang kematianku. Susah banget buat percaya kalau istri baru papa sengaja bikin aku mati. Dia kelihatan lugu dan enggak gila harta."
"Ck! Zaman sekarang ini kita enggak bisa menilai seseorang dari kelihatannya aja."
Kelana mengangguk setuju, seolah-olah dia menjadi bagian dari perbincangan itu. Kenyataannya memang begitu, harta bisa membuat gelap mata, menjadikan si tamak tidak peduli pada orang-orang di sekitar yang kelaparan, asalkan perut sendiri membuncit kenyang.
"Kamu benar, tapi kalaupun kematianku direncanakan oleh istri baru papa, aku bisa apa? Balas dendam juga enggak bikin aku hidup lagi."
Kepala Kelana spontan mengangguk lagi. Ujaran itu benar sekali, balas dendam tidak akan mengubah kematian yang sudah terjadi. Kelana jadi membulatkan tekad, bahwa setelah mengetahui kematiannya, dia akan langsung pergi dari tempat karantina saja tanpa memperhitungkan apa-apa. Kecuali dia mendapat kompensasi hidup kedua kali.