"Kakak lagi ngapain?"
Kelana sontak menarik telunjuknya yang sudah terbenam di dinding perbatasan transparan. Dia lantas menoleh ke belakang dan mendapati sosok gadis kecil dengan tatanan rambut dikepang dua serta poni rata nyaris menutupi kedua mata tanpa sinar kehidupan. Kelana menundukkan pandangan untuk menatap gadis yang memiliki tinggi sebatas pinggangnya itu.
"Aku enggak lakuin apa-apa, kok. Beneran," elak Kelana berbohong.
Sosok gadis itu memicingkan kedua mata, tampaknya tidak memercayai ucapan Kelana yang memang dusta. Kelana menghela hampa lantas berdeham beberapa kali untuk menghalau kegugupan. Meskipun yang memergoki dirinya hanyalah bocah kecil, tetap saja membuat Kelana merasa was-was. Bagaimana kalau dia diadukan kepada Satria dan pengawas lainnya?
"Kakak arwah baru, ya?" Gadis itu menebak dengan akurat.
Kelana mengangguk sebagai jawaban. Dia memang belum lama berada di tempat karantina. Sejatinya, Kelana tidak tahu juga berapa waktu yang diperlukan untuk disebut sebagai arwah lama di sana. Apakah hitungan minggu, bulan, atau tahun?
"Kakak tau aturan nomor 12 di halaman 61 Buku Panduan Arwah, 'kan?" tanya sosok gadis kecil itu menyelidik.
Kepala Kelana mengangguk lagi. "Dilarang melintasi perbatasan pada jam 6 sore sampai jam 12 malam," ucapnya mengulangi apa yang sudah dia hafal di luar kepala.
"Kakak tau sekarang jam berapa?" Gadis kecil itu sudah serupa penegak hukum yang sedang menginterogasi Kelana sebagai maling uang rakyat tertangkap tangan. Bahkan, sepertinya dia lebih tegas dari aparat.
"Delapan," jawab Kelana singkat, sesuai jumlah dentang yang didengar olehnya terakhir kali.
"Kakak tau kalau garis merah itu adalah tanda batas wilayah yang enggak boleh dilewati?" Pertanyaan si gadis kecil belum juga menemui finis. Dia seperti Bellissa versi minimalis, bicaranya tidak habis-habis.
Kelana menggigit bibir risau. Sepertinya sosok yang sedang dia hadapi itu bukan gadis kecil sembarangan. Aura tegas dan dingin yang menguar dari gadis tersebut mengingatkan Kelana pada sosok Satria. Mereka berdua memiliki cara menatap yang hampir sama.
Ini bocah adiknya Bellissa atau Bang Satria kali, ya? pikir Kelana menerka-nerka.
"Kok diam? Kakak sengaja mau melanggar peraturan, ya? Aku bisa menyeret Kakak ke balai pusat karantina, biar Kakak dijatuhi sanksi," terang gadis kecil itu sedikit memberi ancaman.
Kening Kelana mengernyit heran. Untuk sosok sekecil itu, Kelana pikir cara bicaranya terlalu seperti orang dewasa. Atau mungkin karena dia lebih senior dari Kelana perihal waktu kematian? Jadi, merasa bisa bertingkah semena-mena seperti sekarang.
"Jangan dong, Dek. Tolong jangan dilaporin, ya." Kelana menangkupkan kedua tangan di depan dada. Bahkan, dia bersimpuh tanpa menyentuh tanah, untuk menyejajarkan diri dengan tinggi tubuh sosok yang lebih pendek darinya itu.
Kelana tidak pandai berakting, tetapi dia dibekali wajah polos dengan tatapan lugu yang membuat siapa saja menaruh iba kepadanya. Hanya perlu menambah sedikit ekspresi memelas, dia bisa segera melepaskan diri dari perkara apa saja.
"Aku enggak ada niat apa-apa, kok. Tadi cuma penasaran," ungkap Kelana beralasan, lantas mengimbuhi dengan berujar, "tolong jangan bawa aku ke balai pusat, ya."
Sepasang mata almond gadis kecil di hadapan Kelana terlihat melunak, tidak garang seperti detik pertama mereka bertemu tatap. Kelana menahan senyum kemenangan, dia yakin telah berhasil meluluhkan hati si kecil.
"Baik, tapi Kakak harus segera pergi dari sini. Dan jangan pernah dekat-dekat perbatasan lagi." Gadis itu memberi keringanan kepada Kelana, menganggap kesalahan pertama patut mendapatkan kata maaf. Lagi pula, arwah baru memang butuh bimbingan.
"Oke!" Kelana mengangkat ibu jari pada tangan kanannya, lalu satu detik kemudian mengulurkan telapak tangan itu untuk memperkenalkan diri dengan berucap, "Kelana."
Gadis kecil tesebut hanya melirik uluran tangan Kelana dengan sinis, lalu dagunya terangkat lebih tinggi. Kelana menyunggingkan senyuman canggung pada bibir. Dia berusaha memaklumi, mungkin anak kecil di dunia yang disinggahi saat ini memang tidak pernah belajar sopan santun.
"Azarin," ucap gadis berkepang dua itu tanpa menyambut tangan Kelana yang masih terulur menganggur.
Kelana menarik kembali uluran tangan kanannya dan menautkan dengan yang kiri. Tidak apa-apa Kelana diabaikan oleh arwah bernama Azarin itu, asalkan dia tidak diadukan ke pusat karantina dan mendapat hukuman karena berusaha melanggar peraturan nomor 12 pada halaman 61 buku panduan. Bellissa dan Satria pasti akan marah besar kalau mengetahui hal tersebut.
"Ngapain masih di sini? Sana balik ke tempat Kakak!" hardik Azarin mengusir.