KELANA

Lovaerina
Chapter #6

Di Luar Perbatasan

Kelana mengendap-endap begitu mendekati perbatasan di kawasan timur laut. Sepasang mata bulat dengan iris kecokelat-cokelatan itu mencermati keadaan, mengamati sosok yang mungkin saja berjaga di sekitar, lalu muncul secara tiba-tiba dan memergokinya. Akan tetapi, setelah beberapa saat melakukan pengintaian, tidak ada tanda-tanda keberadaan penjaga seperti di perbatasan barat daya. Kelana lantas langsung melesat secepat kilat melewati garis merah yang difungsikan sebagai pembatas.

Kedua netra Kelana sengaja dia pejamkan erat-erat untuk menyingkirkan keraguan yang sempat membersit dalam benak. Setelah berhasil menembus batas wilayah karantina, Kelana tidak merasakan reaksi apa-apa, padahal dia pikir akan terjadi sesuatu. Seperti tubuhnya terkoyak atau merasa mual.

Perlahan-lahan, Kelana membuka kedua kelopak mata. Pemandangan yang dia lihat adalah sebuah jalan menanjak dengan dua pohon besar di kanan dan kiri berdiri kokoh pada tepiannya, menyerupai sebuah gapura. Langit tidak secerah di tempat karantina, mendung menggantung menutupi awan.

"Ini di mana, ya?" Kelana bertanya-tanya kebingungan. "Kayaknya sebentar lagi mau hujan, deh."

Kelana mengedarkan pandangan ke segala penjuru arah. Dia meyakini sedang berada di pinggir sebuah jalan raya, tetapi cukup lengang tanpa kendaraan yang berlalu-lalang.

"Aku di dunia manusia apa di alam lain lagi, sih?" Kelana mulai was-was.

Ketika berbalik, Kelana tidak mendapati tempatnya berteleportasi tadi. Dan Kelana baru menyadari kalau dia bisa keluar dari tempat karantina, tetapi tidak tahu bagaimana caranya kembali.

"Duh! Bodoh banget, sih!" Kelana menggerutu kesal. "Sekarang aku harus ke mana?" keluhnya risau sambil menggigiti kuku-kuku pada telunjuk dan jari tengah di tangan kiri.

Pada detik itu, Kelana merutuki kebodohan sendiri yang bertindak ceroboh dan tanpa perhitungan matang hanya karena menuruti rasa penasaran semata.

"Seharusnya aku enggak sembarangan keluar dari tempat karantina," ujar Kelana menyesal.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Kelana bisa apa selain menikmatinya? Berdiam diri pun tidak akan membuat bubur itu kembali menjadi nasi seperti semula.

"Oke, tenang, Lana. Tenang. Pasti bisa ketemu jalan pulang. Tenangin pikiran. Jangan panik, Lana." Kelana berusaha menjernihkan pikiran sendiri, walaupun percuma, karena pada akhirnya dia tetap saja merasa kalut.

Yang membuat Kelana semakin kebingungan adalah dia meninggalkan Buku Panduan Arwah pemberian Bellissa. Dan Kelana hanya menghafal poin nomor 12 pada halaman 61, sisanya tidak dia ingat sama sekali. Andai tahu akan tersesat seperti ini, Kelana pasti selalu sedia membawa serta buku tersebut ke mana pun dia pergi.

"Apa aku bakal jadi arwah penasaran selamanya?" Kelana mengingat konsekuensi yang sempat Bellissa sebutkan.

Kalau sampai pukul 6 sore nanti Kelana tidak bisa kembali ke tempat karantina, bukan hal yang mustahil dirinya akan menjadi arwah gentayangan. Selamanya. Tanpa bisa menuju ke alam baka.

"Enggak!" Kelana menggeleng cepat, membayangkan bergentayangan tanpa tujuan saja sudah membuatnya cemas, apalagi kalau hal itu benar-benar terjadi. Dia pikir, berada di tempat karantina jauh lebih baik daripada harus berakhir luntang-lantung tanpa tujuan selamanya.

Suara petir mengejutkan Kelana. Langit semakin gelap tertutup kabut pekat, membuat jarak pandang pun kian terbatas. Tidak butuh waktu lama bagi awan untuk menjatuhkan titik-titik air hingga membasahi bumi. Kelana memeluk diri. Meskipun eksistensi Kelana saat ini adalah arwah, dia tetap merasa kedinginan karena hujan yang membasahi tubuh astralnya.

Lihat selengkapnya