Kelana tidak berani menoleh ke belakang. Dia terus menyeret langkah kaki untuk berlari bersama sosok yang tidak melepaskan genggaman pada pergelangan tangannya. Untung saja Kelana sudah mati. Jadi, dia tidak perlu khawatir akan kehabisan napas, meskipun lelah tetap menguasai diri.
Setelah merasa cukup aman dan tidak terjangkau oleh makhluk-makhluk menyeramkan, sosok yang sejak awal menarik pergelangan tangan Kelana itu menghentikan langkah. Kelana pun melakukan hal yang sama. Mereka berdua kemudian memasuki sebuah bangunan kosong yang lumayan usang dengan lumut merambat sebagai hiasan dinding penuh retakan di berbagai bagian.
"Kita bersembunyi di sini aja dulu." Usulan itu Kelana setujui dengan anggukan kecil.
Pergelangan tangan Kelana dilepaskan. Kemudian mereka berdiri berjejeran. Tiba-tiba Kelana merasa begitu canggung. Jemari Kelana saling bertaut di bawah sana, sedangkan sepasang kakinya tetap melayang beberapa sentimeter di atas permukaan tanah.
"Arsyanendra Prayoga." Sosok laki-laki itu mendadak mengulurkan tangan kanan dan tersenyum, memamerkan cekungan dalam pada pipinya sebelah kiri.
"Kelana Dinanti." Uluran tangan itu disambut hangat oleh Kelana, tidak lupa lengkungan manis pada bibir tebalnya yang pucat, ikut tertampil.
Tatapan Kelana dan sosok bernama Arsyanendra itu beradu. Kelana patut bersyukur karena harapannya terkabul. Visual Arsyanendra sangat jauh dari kata seram, justru layak disebut menawan. Dahi Arsyanendra cukup lapang untuk mendaratkan beberapa kecupan, hidungnya bisa dikategorikan mancung, dan bibir tebalnya tampak semakin indah saat tersenyum. Sepasang mata bulat meruncing milik Arsyanendra terlihat begitu jernih, meskipun menyiratkan sendu.
Pertautan tangan mereka berdua hanya berlangsung dalam hitungan detik dan kembali ditarik oleh masing-masing pemilik. Kelana melarikan pandangannya ke arah lain, merasa sudah sangat cukup untuk mengagumi pahatan sempurna pada raut wajah Arsyanendra. Sementara itu, Arsyanendra menggaruk tengkuk sebagai pengalihan rasa canggung yang mendera begitu saja.
"Kamu itu apa?" tanya Kelana tiba-tiba, dia perlu tahu Arsyanendra masuk ke golongan mana. Apakah sama dengan dirinya atau dari jenis yang berbeda?
Dahi lapang Arsyanendra berkerut, menandakan dia tidak memahami maksud dari pertanyaan Kelana tersebut.
"Manusia? Arwah? Atau yang lainnya?" Kelana sendiri tidak tahu pasti ada berapa jenis makhluk yang bereksistensi di muka bumi ini.
Arsyanendra masih kebingungan. Kernyitan pada kening sosok laki-laki itu semakin kentara, membuat kedua alisnya nyaris bertaut menjadi satu.
Netra Kelana lantas memindai sosok Arsyanendra dari ujung kepala hingga telapak kaki yang memijak tanah tanpa jeda. Kelana membuat beberapa spekulasi berdasarkan pengamatannya. Arsyanendra bisa melihat dan menyentuh Kelana, itu berarti dia bukan manusia, kecuali dianugerahi indra keenam. Selain itu, Arsyanendra tidak melayang seperti Kelana, bisa jadi dia merupakan makhluk sejenis gadis kecil menyeramkan tadi.
"Kamu enggak akan berubah jadi seram juga, 'kan?" Kelana merasa perlu waspada, siapa tahu di balik visual menawan yang Arsyanendra tampilkan saat ini, tersembunyi wajah menyeramkan.
Arsyanendra menggeleng lemah. "Aku enggak tau maksud kamu apa, tapi aku enggak mungkin berubah jadi seram seperti yang kamu pikirkan. Aku udah beberapa waktu ada di sini tanpa tau apa pun. Dan cuma kamu satu-satunya orang yang aku lihat normal selama ini."
Orang? Kelana menyimpan gumaman itu. Jadi, Arsyanendra mengira kalau Kelana adalah manusia. Dia indigo kali, ya?
Waktu dibiarkan berlalu beberapa saat dalam keheningan. Kelana dan Arsyanendra tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kelana masih menebak-nebak tentang sosok tampan di hadapannya. Namun, seketika terdistraksi oleh kekhawatiran tentang cara kembali ke tempat karantina. Bahkan, Kelana tidak tahu apakah sekarang sudah memasuki pukul 6 sore atau belum. Sebab, Kelana tidak bisa mendengar suara jarum jam berdentang lantang lagi.
"Kamu pernah ke tempat karantina?" Kelana kembali bertanya, barangkali Arsyanendra bisa membawanya ke tempat itu lagi.